REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan dugaan adanya tahanan yang tewas akibat dianiaya di dalam kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin. Dugaan ini berdasarkan pengakuan keluarga korban kepada tim LPSK.
"Adanya dugaan penghuni kerangkeng meninggal dunia karena dianiaya. Hal ini didasari oleh pengakuan pihak keluarga," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dalam keterangan tertulisnya, Ahad (30/1/2022).
Hasto mengatakan, keluarga mendapati bekas luka penganiayaan pada tubuh korban. Peristiwa itu terjadi pada 2019 silam.
Tim LPSK juga menemukan informasi bahwa para tahanan di sana diharuskan membuat surat pernyataan sebelum dipenjarakan. "Dalam surat pernyataan tersebut tertulis klausul bahwa keluarga tidak akan menggugat jika terjadi sesuatu terhadap korban di dalam sel tersebut, misalnya sakit atau meninggal dunia," ujar Hasto.
Hasto menyebut, tim LPSK telah memberikan informasi terkait temuan-temuan tersebut kepada Kapolda Sumatera Utara. Tim yang dipimpin Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menemui langsung Kapolda Sumut di Medan pada Jumat (28/1/2022).
Tim LPSK diketahui bertolak dari Jakarta ke kediaman Terbit Rencana di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat pada Kamis (27/1/2022). Di sana, tim mengunjungi dua sel ilegal di kediaman Terbit, mewawancarai tiga orang korban serta keluarganya, dan mengunjungi pabrik pengolahan sawit tempat para korban diperkerjakan.
Untuk diketahui, keberadaan kerangkeng manusia itu pertama kali diketahui saat tim KPK menggeledah kediaman Terbit terkait kasus suap. Temuan kerangkeng itu lantas dilaporkan oleh lembaga swadaya pemerhati buruh migran, Migrant CARE, ke Komnas HAM, Senin (24/1/2022).
Migrant CARE menduga, puluhan orang itu merupakan korban perbudakan. Mereka dikerangkeng dan diperkerjakan di kebun sawit setiap hari tanpa digaji.
Polisi menyebut, ada 48 orang yang dipenjarakan di kerangkeng tersebut. Semuanya telah dipulangkan kepada keluarga masing-masing.