Selasa 01 Feb 2022 04:07 WIB

Polisi tak Pasang Police Line di Rumah Bupati Langkat, LPSK: Ada yang Aneh

Padahal, ada banyak dugaan tindak pidana terkait kasus kerangkeng tersebut.

Rep: Febryan. A/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua LSPK Edwin Partogi Pasaribu memaparkan temuan timnya terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin, di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1).
Foto: Republika/Febryan A
Wakil Ketua LSPK Edwin Partogi Pasaribu memaparkan temuan timnya terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin, di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, garis polisi atau police line tak kunjung dipasang di lokasi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin. Menurut Hasto, ini adalah sebuah keanehan lantaran ada banyak dugaan tindak pidana terkait kerangkeng tersebut.  

Hasto menjelaskan, dua kerangkeng manusia itu pertama kali ditemukan oleh tim KPK yang menggeledah rumah Terbit pada 19 Januari. Selanjutnya, pemberitaan terkait kerangkeng dan dugaan perbudakan di sana mulai ramai diberitakan media massa pada 24 Januari. Lalu tim investigasi LPSK mendatangi kerangkeng itu pada 27 Januari. 

Baca Juga

Sejak 19 Januari hingga 27 Januari itu, belum ada garis polisi terpasang di sana. "Apakah ini belum dijadikan sebagai TKP (tempat kejadian perkara) oleh polisi? Saya kira ini ada sesuatu yang aneh," kata Hasto saat konferensi pers di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1/2022). 

"Selama hari-hari tersebut, apa yang dilakukan? Ini bisa diperdalam juga nanti," imbuhnya. 

Adapun tim investigasi LPSK mendapati 17 temuan saat menyelidiki kasus ini. Beberapa di antaranya adalah kondisi kerangkeng yang sangat tidak layak ditempati, korban diperkerjakan tanpa upah, korban dibatasi untuk beribadah dan berkomunikasi, ada batasan waktu penahanan minimal 1,5 tahun, serta ada korban yang meninggal dunia akibat penyiksaan. 

Atas temuan tersebut, kata Hasto, LSPK menyimpulkan setidaknya ada tiga dugaan tindak pidana terkait kerangkeng manusia ini. Pertama, dugaan tindak pidana penghilangan kemerdekaan orang lain oleh orang yang tidak berwenang. 

Kedua, dugaan tindak pidana perdagangan orang karena puluhan tahanan di sana diperkerjakan secara paksa. Ketiga, dugaan menyelenggarakan tempat rehabilitasi ilegal. 

Tim LPSK sudah menyerahkan 17 temuan itu kepada Kapolda Sumatera Utara. Hasto meminta polisi menyelidiki kasus ini hingga tuntas. Apabila polisi sudah menyatakan kasus ini sah tindak pidana, barulah LPSK bisa memberikan perlindungan kepada korban maupun saksi. 

"Kami mendorong aparat penegak hukum untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan guna menetapkan apakah ini suatu tindak pidana atau bukan. Tetapi temuan tim kami menemukan indikasi kuat bahwa ada tindak pidana," ujarnya. 

Sebelumnya, tim KPK menemukan kerangkeng manusia ketika menggeledah rumah Terbit terkait kasus suap. Temuan kerangkeng itu lantas dilaporkan oleh lembaga swadaya pemerhati buruh migran, Migrant CARE, ke Komnas HAM, Senin (24/1/2022). 

Migrant CARE menduga, puluhan orang yang ditahan di sana adalah korban perbudakan dan penyiksaan. Mereka dikerangkeng dan diperkerjakan di kebun sawit setiap hari tanpa digaji. 

Polisi menyebut, ada 48 orang yang dipenjarakan di kerangkeng tersebut. Semuanya telah dipulangkan kepada keluarga masing-masing.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement