Jumat 04 Feb 2022 14:42 WIB

KPPU Panggil Tiga Produsen Minyak Goreng, Terkait Kartel?

KPPU mengungkapkan telah menemukan empat pemain besar yang diduga terlibat kartel.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Stok minyak goreng kosong di salah satu ritel wilayah Kota Malang, Kamis (3/2/2022).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Stok minyak goreng kosong di salah satu ritel wilayah Kota Malang, Kamis (3/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hari ini memanggil sejumlah produsen minyak goreng terkait dugaan kartel atau penetapan harga serempak. Kepala Biro Hubungan dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan pertemuan tersebut hingga siang ini belum selesai. 

"Sampai saai ini pertemuan masih berlangsung. Hari ini ada tiga (produsen)," kata Deswin kepada Republika.co.id, Jumat (4/2/2022). 

Baca Juga

Deswin menjelaskan terdapat sejumlah hal yang dibahas pada pertemuan tersebut. Dia mengatakan, KPPU fokus dalam menggali keterangan mengenai penetapan harga minyak goreng dari produsen tersebut. 

"Pertemuan lebih fokus ke menggali keterangan atau meminta data atau informasi terkait proses distribusi atau pemasaran, harga, dan lainnya," ungkap Deswin. 

Sebelumnya, Ketua KPPU Ukay Karyadi mengungkapkan telah menemukan empat pemain besar yang diduga terlibat kartel. Untuk ini hari ini (4/2/2022) KPPU memanggil produsen minyak goreng terkait untuk membahas hal tersebut. 

Ukay memaparkan alasan adanya indikasi kartel terkait melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, dengan menyebut terdapat sinyal-sinyal praktik kartel. Jadi, lanjut Ukay, ketika ada kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), maka situasi tersebut dijadikan momentum untuk pelaku usaha minyak goreng pada perusahaan besar untuk menaikkan harga.

Menurut Ukay, yang menjadi perhatian KPPU adalah selain pabrik minyak goreng tersebut terintegrasi dengan kebun sawit milik mereka sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan. Padahal, lanjut Ukay, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.

Namun yang terjadi justru para pemain besar minyak goreng tersebut menaikkan harga secara kompak. "Nah, ketika kenaikan ini terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga di level Rp 14 ribu per liter dan terbukti tidak efektif. Sehingga merubah lagi kebijakan dengan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO)," ungkap Ukay.

Dengan demikian, Ukay mengatakan bahwa KPPU melihat adanya praktik oligopoli, sehingga intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu. "Tentunya intervensi pasar di hilir tanpa membenahi struktur industrinya menjadi kurang efektif, karena posisi tahap awalnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut," ujar Ukay.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement