REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin M Juhro mengatakan substitusi impor bahan baku industri perlu dipercepat. Ini untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk dari luar negeri.
"Keberlanjutan dari impor berisiko karena konsentrasi sumber-sumber impor di beberapa mitra perdagangan salah satunya Tiongkok sebesar 30 persen yang dapat mengganggu industri ketika terjadi gangguan supply seperti selama pandemi," katanya dalam webinar 'Bergeser ke Industri Bernilai Tambah Lebih Tinggi' yang dipantau di Jakarta, Senin (14/2/2022).
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Desember 2021 total impor untuk bahan baku atau penolong dan barang modal mencapai 88,31 persen dari total impor. Menurut Juhro, selama pandemi kendala terkait impor seperti kesulitan pengapalan, kekurangan peti kemas, dan kelangkaan semikonduktor menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk segera melakukan substitusi impor.
"Walau gangguan impor tidak berdampak langsung terhadap kegiatan ekspor dan impor, tapi ini meningkatkan kekhawatiran terkait sektor manufaktur dan keberlanjutannya," ucapnya.
Karena itu, diperlukan dorongan agar industri manufaktur di dalam negeri dapat saling terkait untuk menciptakan produk bernilai tambah lebih tinggi yang dapat diekspor. Menurutnya, substitusi impor dengan peningkatan keterkaitan antarindustri di dalam negeri tersebut dapat dapat turut mendukung upaya transisi ke arah aktivitas ekonomi yang lebih berkelanjutan atau ramah lingkungan.
"Dalam hal ini, Bank Indonesia berkoordinasi aktif dengan pemerintah secara reguler, termasuk mempromosikan beberapa inisiatif strategis dalam hal environmental, social, and governance (ESG), dan dengan komite untuk menjaga stabilitas ekonomi kita untuk mengatasi debottlenecking dan mendorong kinerja industri hilir," ucapnya.