Ketentuan Baru JHT Bisa Perparah Kemiskinan di Jateng, Kok Bisa?
Rep: Bowo Pribadi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Sejumlah buruh saat melaksanakan aksi di depan Kantor Kementerian Tenaga Kerja, Jakarta, Rabu (16/2/2022). Pada aksi tersebut mereka menuntut dicabutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dan mencopot Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Republika/Putra M. Akbar | Foto: Republika/Putra M. Akbar
REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG -- Ketentuan baru pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) disebut dapat memperparah angka kemiskinan di Jawa Tengah.
Legislator Fraksi Gerindra DPRD Jawa Tengah, Yudi Indras Wiendarto bahkan menyebut peraturan --terkait ketentuan pencairan JHT yang hanya bisa dilakukan saat pekerja sudah berusia 56 tahun atau sudah meninggal dunia-- ini juga membuat beban alokasi dari APBD untuk mengcover program-program pengentasan kemiskinan.
"Ketentuan anyar pencairan dana JHT bisa memperparah angka kemiskinan di Jateng. Korelasinya adalah cukup tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ada di Jawa Tengah, sehingga harus direvisi," ungkapnya, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (18/2/2022).
Menurut Yudi, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut harus direvisi. Pertama, karena kondisi Pandemi membuat dunia usaha belum stabil dan kondisi pekerja juga belum menentu.
Angka PHK akibat pandemi Covid-19 di Jawa Tengah cukup tinggi. "Maka aturan itu akan membuat pekerja yang terkena PHK dan kondisi ekonomi belum stabil akan semakin susah," jelasnya.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah, pada pertengahan tahun 2021 kemarin ada 11.438 pekerja di Jawa Tengah yang terkena opsi PHK akibat pandemi Covid-19. Jumlah ini belum ditambah dengan 32.132 pekerja yang terpaksa dirumahkan dengan alasan yang sama.
Bahkan jika ditotal, di Jawa Tengah ada sebanyak 65 ribuan pekerja yang terdampak oleh kondisi pandemi. Maka --menurutnya-- dana JHT ini semestinya bisa segera dicairkan begitu pekerja terkena PHK.
"Harapannya tentu agar bisa digunakan untuk keberlangsungan hidup mereka sehari- hari sampai mendapatkan pekerjaan baru atau dana JHT itu bisa digunakan untuk usaha lainnya," tegas Yudi.
Alasan kedua, lanjutnya, jika pencairan dana JHT 'tertahan', sementara pekerja terkena PHK membutuhkan dana tersebut maka akan menambah beban pemerintah daerah. Sehingga kondisi ini akan menambah potensi kemiskinan di Jawa Tengah.
Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) masih ada 3,93 juta orang miskin di Jawa Tengah per September 2021. Jika dipersentase, ada kenaikan jumlah penduduk miskin sekitar 0,06 persen dalam kurun waktu tiga tahun.
Ditambah lagi ada beberapa daerah yang masih berkutat dengan problem kemiskinan tinggi. Per September 2021, angka kemiskinan di Kabupaten Kebumen mencapai 17,83 persen, Kabupaten Wonosobo (17,67 persen), Brebes (17,43 persen), Purbalingga (16,24 persen), Banjarnegara (16,23 persen) dan Pemalang (16,56 persen).
Dengan kondisi ini maka imbas berikutnya adalah butuh dana alokasi dari APBD yang lebih besar untuk mengcover program- program pengentasan kemiskinan.
Sementara alasan ketiga, dana JHT tersebut merupakan hak pekerja maka sudah semestinya aturan dibuat dengan mendengarkan masukan dari para pekerja. "Ini kan duitnya pekerja, jangan ditahan. Sehingga kalau buat kebijakan hendaknya melibatkan pekerja agar lebih komprehensif," tandas Yudi.