REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya mendorong pengembangan instrumen keuangan hijau dan berkelanjutan. Tercatat ada beberapa sustainable finance yang diluncurkan seperti green bond sebesar Rp 32,1 triliun, sustainable financing atau loan sebesar 55,9 miliar dolar AS atau Rp 809 triliun, serta blended finance sebesar 3,27 miliar dolar AS digunakan 55 proyek.
Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Agus Edy Siregar mengatakan, saat ini dalam G20 isu green economy menjadi isu besar yang didiskusikan secara global. “Pengembangan instrumen keuangan hijau dan berkelanjutan sudah mulai baik dan sampai saat ini dalam G20 isu green economy menjadi isu besar yang didiskusikan secara global,” ujarnya saat Presidensi G20 Indonesia, Jumat (18/2/2022) kemarin.
Menurut Agus, terdapat tantangan beberapa tantangan dalam mengeluarkan suatu instrumen hijau seperti kurangnya insentif terhadap penerbitan green bond atau pembiayaan sektor hijau. Hal itu terjadi karena diperlukan adanya tambahan prosedur untuk melakukan verifikasi atau penentuan bahwa satu sektor ini merupakan sektor hijau atau tidak.
“Tapi ini masih dalam catatan bahwa itu data sebelum kita adjust Taksonomi Hijau yang baru saja launching,” ucapnya.
Terlebih lagi, adanya tambahan biaya tersebut baik untuk verifikatornya dan sebagainya. Namun ternyata harga green bond di pasar sama saja dengan non-green bond sehingga ini merupakan tantangan terbesar.
Oleh sebab itu Agus menuturkan desain yang baik sangat diperlukan supaya minat untuk menerbitkan green instrument atau green financing bisa lebih banyak lagi ke depan.
Selain itu di masa lalu ternyata juga belum ada standar mengenai sektor-sektor yang hijau dan non hijau padahal standar ini penting agar seluruh sektor memiliki bahasa yang sama untuk mendesain pembiayaannya. “Masa lalu juga sustainable finance atau green economy masih dalam tahap awal pengembangan,” katanya.