Ahad 20 Feb 2022 18:29 WIB

PPP Nilai Jabatan Kepala Otorita IKN Bisa Dirangkap Menteri

Peluang itu sangat terbuka jika melihat ketentuan UU IKN.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (21/2).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang. Selanjutnya, Presiden Jokowi punya waktu dua bulan untuk menunjuk kepala badan otorita IKN. 

Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI Achmad Baidowi menilai, seorang kepala badan otorita IKN bisa dirangkap oleh seorang menteri. Dirinya merujuk pasal 4 ayat 1 (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) bahwa status badan otorita IKN adalah pemerintah daerah khusus setingkat kementerian.

"Maka, jabatan kepala otoritas IKN bisa dirangkap oleh menteri. Adapun wakilnya dari luar kementerian," kata Baidowi dalam keterangan tertulisnya, Ahad (20/2).

Selain itu sesuai ketentuan pasal 9 ayat 1 UU IKN juga dijelaskan bahwa kepala dan wakil kepala otorita IKN diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Baidowi menilai, Presiden Jokowi bisa menunjuk salah satu menterinya untuk merangkap kepala badan otorita IKN. Namun, hal tersebut tergantung kepada keputusan Presiden Jokowi.

"Yang jelas peluang itu (menteri merangkap sebagai kepala badan otorita) sangat terbuka jika melihat ketentuan UU IKN. Siapa menteri yang dimaksud? Semuanya tergantung keputusan presiden. Bisa Mendagri, Menteri PPN, Menkopolhukam atau menteri yang ditunjuk," ujarnya.

Selain itu, pria yang akrab disapa Awiek tersebut menjelaskan setelah UU IKN resmi diundangkan, maka pemerintah wajib menyusun aturan pelaksana agar bisa diimplementasikan. Wakil ketua badan legislasi (Baleg) DPR RI tersebut menilai adanya gugatan terhadap UU 3/2022 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menghentikan keberlakuan UU tersebut sebelum ada putusan MK. 

"Maka pembuatan aturan teknis bisa langsung dilakukan tanpa harus menunggu putusan MK," tuturnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement