REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Udang Indonesia (FUI) menuturkan, industri pengolahan udang di Indonesia masih kekurangan bahan baku udang. Di satu sisi, harga udang lokal juga masih cukup tinggi dan kalah bersaing dengan udang impor.
Ketua FUI, Budhi Wibowo, mengatakan, kurangnya bahan baku menjadi permasalahan utama yang dialami oleh unit pengolahan ikan (UPI) udang. Pasalnya, dari total kapasitas sekitar 550 ribu ton per tahun, produksi udang lokal yang bisa masuk ke pengolahan hanya sekitar 350 ribu ton.
"Utitilisasi sekitar 65 persen. Jadi seharusnya kita bisa mengolah (udang) dengan tambahan 200 ribu ton tanpa tambahan investasi alat. Jadi kami sampaikan, teman-teman petambak tidak perlu ragu untuk produksi," kata Budhi dalam webinar yang digelar Pataka, Selasa (22/2/2022).
Lebih lanjut, ia menambahkan, harga udang di Indonesia saat ini masih lebih mahal dari pesaing utama. Khususnya udang dari India dan Equator. Tingginya harga udang Indonesia mencerminkan produk lokal yang masih memiliki daya saing lemah.
Di tengah kendala-kendala itu, FUI mencatat kinerja positif untuk ekspor produk udang setiap tahunnya, baik dari sisi nilai maupun volume. Tercatat sejak 2015 hingga 2021 kenaikan ekspor terjadi secara konsisten.
Tahun 2015 lalu, volume ekspor udang sebesar 162 ribu ton dengan nilai 1,4 miliar dolar AS. Memasuki 2021, volume naik menjadi 250 ribu ton dengan nilai 2,2 miliar dolar AS.
Budhi menyampaikan, Indonesia menargetkan peningkatan nilai ekspor hingga 250 persen untuk periode 2019-2024. Tercatat, tahun 2019 lalu nilai ekspor produk udang telah mencapai 1,7 miliar dolar AS sehingga tahun 2024 mendatang harus mencapai 4,25 miliar dolar AS.
Menurutnya, untuk mencapai itu, harus terjadi peningkatan volume ekspor 15 persen setiap tahun dan nilai ekspor naik 20 persen. "Periode 2019 ke 2020 itu sudah tercapai, tapi dari 2020 ke 2021 itu tidak tercapai. Kenaikan volume hanya 5 persen dan nilai 8,5 persen. Ini yang mengkhawatirkan bagi kami," ujarnya.
Ia pun menambahkan, selain dari sisi aspek produksi udang lokal, aspek keamanan, ketelusuran, dan keberlanjutan juga menjadi tuntutan dari pasar internasional. Khusus pada aspek ketelusuran dan keberlanjutan, belakangan menjadi semakin ketat.
FUI mencatat, aspek ketelusuran saat ini menuntut kejelasan dari hulu ke hilir secara gamblang. Dimulai dari benur, bibit, hingga penyuplainya harus jelas. Sementara soal aspek keberlanjutan, dari semula sekedar ramah lingkungan, kini mulai memperhatikan soal perdagangan karbon.
"Ini juga menjadi masalah maka kalau para pelaku usaha tidak bisa ikuti tren ini akan sulit," ujar dia.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb Haeru Rahayu, menjelaskan, saat ini kemampuan produksi udang nasional sekitar 857 ribu ton dengan lahan yang tersedia 300,5 ribu hektare.
Ia menilai, diperlukan adanya revitalisasi pertambakan udang untuk bisa meningkatkan produktivitas. Dari tambak tradisional menjadi modern. Di satu sisi perlu adanya budidaya modern yang terintegrasi diikuti dengan pembukaan lahan tambak baru.
"Teknologi pertambakan udang kita masih didominasi oleh teknologi tradisional, seluas 247,8 ha atau 82 persen. Sedangkan yang semi intensif 43,6 ribu ha atau 15 persen dan lahan intensif hanya 9.005 ha, sekitar 3 persen dari total luas lahan tambak udang," kata ujarnya.
Sementara itu, Ketua Harian Shrimp Club Indonesia, Hardi Pitoyo, mengungkapkan, ada sejumlah permasalahan umum di tambak udang level tradisional. Salah satunya mengenai mutu benih atau biosekuriti yang tidak diterapkan di kebanyakan tambak.
Selain itu, kesadaran petambak untuk menjaga lingkungan juga masih lemah sehingga membahayakan tambak lain di sekitarnya. "Banyak juga kasus penyakit (udang) yang tidak terekspose," ujarnya.