Selasa 22 Feb 2022 16:59 WIB

Pelapor PBB: China dan Rusia Terus Pasok Senjata ke Junta Myanmar

Rusia, China, dan Serbia terus memasok persenjataan ke junta Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Suasana demonstrasi antijunta militer di Myanmar.
Foto: Anadolu Agency
Suasana demonstrasi antijunta militer di Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan Rusia, China, dan Serbia terus memasok persenjataan ke junta Myanmar. Senjata-senjata tersebut yang digunakan untuk menyerang massa demonstran penentang kudeta militer tahun lalu.

Dalam laporan yang dirilis pada Selasa (22/1), Andrews menyoroti keterlibatan Rusia dan China sebagai dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB dalam memasok persenjataan ke junta Myanmar.

Baca Juga

“Meski ada bukti kejahatan kekejaman junta militer yang dilakukan dengan impunitas sejak meluncurkan kudeta tahun lalu, anggota Dewan Keamanan PBB, Rusia dan China, terus memberikan junta militer Myanmar dengan banyak jet tempur, kendaraan lapis baja, dan dalam kasus Rusia, janji senjata lebih lanjut,” kata Andrews dalam sebuah pernyataan.

Dalam periode yang sama, Serbia, kata Andrews, mengizinkan penjualan roket dan artileri ke militer Myanmar. “Sangat penting bahwa negara-negara anggota dan Dewan Keamanan bertindak segera untuk menghentikan penjualan senjata ke junta militer. Nyawa manusia, dan kredibilitas Dewan Keamanan, dipertaruhkan,” ucapnya.

Andrews mengharapkan adanya resolusi untuk merespons isu tersebut. “Dewan Keamanan (PBB) harus mempertimbangkan, setidaknya, sebuah resolusi untuk melarang senjata yang digunakan oleh militer Myanmar untuk membunuh orang yang tidak bersalah” ujarnya.

Pada 1 Februari tahun lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 1.000 orang dilaporkan tewas selama unjuk rasa digelar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement