REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR - Cuaca ekstrem di Sulawesi Selatan (Sulsel) sudah tiga kali terjadi sejak akhir 2021 hingga Februari 2022. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin.
"Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah tiga kali mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem di Makassar. Kondisi ini tentu tidaklah normal," kata Al Amin di Makassar, Selasa (22/2/2022).
Menurut dia, intensitas hujan yang tinggi dan mengalami perbedaan dari tahun-tahun sebelumnya menjadi salah satu indikator krisis iklim di Sulsel yang dipengaruhi kerusakan lingkungan. Berdasarkan informasi dari BMKG, sejak 20 hingga 23 Februari 2022 beberapa daerah di Sulsel mengalami cuaca buruk, termasuk Kota Makassar yang selalu menjadi langganan banjir.
"Krisis iklim merupakan puncak dari kerusakan lingkungan. Ini terjadi karena kerusakan lapisan ozon yang diakibatkan tingginya produksi karbon," paparnya.
Kerusakan lapisan ozon itu memicu suhu bumi menjadi tinggi sehingga menimbulkan cuaca yang susah diprediksi bahkan mengarah ke kondisi yang semakin ekstrem. Berdasarkan catatan Walhi, tutupan hutan di Sulsel tersisa 32 persen atau sekitar 1.479.181,01 hektare. Sementara, 68 persen atau 3.180.562,41 hektare masuk ke dalam kategori tutupan nonhutan.
Dengan demikian, jika Sulsel kembali kehilangan dua persen saja dari tutupan hutannya, maka provinsi ini akan kolaps. Pasalnya dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan minimal tutupan hutan 30 persen. Selain itu, tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi tangkapan air terbesar di Sulsel juga dalam kondisi kritis. Ketiga DAS itu yakni Walanae, Saddang, dan Jeneberang.
Mencermati hal itu, lanjut Al Amin, apabila Plt Gubernur tidak memulihkan lingkungan, maka berarti ia melestarikan kerusakan lingkungan. Kondisi itu bisa membawa masyarakat Sulsel ke lubang bencana yang lebih besar di masa yang akan datang.