REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang antara Rusia dan Ukraina diprediksi kuat akan membuat tren kenaikan harga pangan dunia akan lebih tinggi dari perkiraan semula. Pasalnya, perang kedua negara akan mengerek kenaikan harga bahan bakar dan mendorong kalkulasi para pengusaha untuk menaikkan harga yang memang sudah dalam tren kenaikan.
Ekonom dari Instutite for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, dua komoditas seperti gandum dan kedelai akan menjadi komoditas pangan impor yang terdampak kenaikan harga.
Dua komoditas itu salah satunya diimpor dari Amerika Serikat (AS) yang saat ini mengalami kenaikan inflasi hingga 7,5 persen. Sejumlah analis juga memperkirakan inflasi AS akan tembus 10 persen.
"Kenaikan inflasi ini pasti akan mengerek kenaikan harga-harga di sana. Misal, kenaikan tadinya diprediksi 2 persen, bisa menjadi 3 persen karena perang Rusia Ukraina ini menambah inflasi dunia," kata Rusli kepada Republika.co.id, Jumat (25/2/2022).
Dalam situasi seperti ini, tidak banyak yang dapat dilakukan pemerintah terhadap fluktuasi harga pangan impor. Namun, yang bisa dilakukan adalah mencegah agar dunia usaha dalam negeri tidak ikut mempermainkan harga-harga pangan dengan memanfaatkan celah flutktuasi harga global.
Baca juga: Ulang Tahun ke 65, BCA Fasilitasi Bunga KPR dari 2,65 persen
Rusli mengatakan, pandemi Covid-19 sejatinya telah memberi pelajaran bahwa ketergantungan pada impor pangan sangat rentan terhadap pergerakan harga. Hal ini seharusnya menjadi momentum pemerintah Indonesia untuk melakukan revitalisasi sektor pangan nasional.
Alternatif sumber pangan lokal harus mulai dibangun dengan mengupayakan substitusi. Sebab, Indonesia memiliki keanekaragaman komoditas pangan yang sejatinya bisa dimanfaatkan.
"Kita bisa lihat komoditas pangan yang bisa swasembada saat ini baik-baik saja, kan? Seperti beras dan telur ayam. Tapi kalau kita beli dari luar negeri itu sangat terpengaruh fluktuasi harganya," kata Rusli.