Jumat 11 Mar 2022 19:32 WIB

Pengusaha Tolak Kebijakan DMO Sawit 30 Persen

Kebijakan itu dinilai akan mengganggu ekosistem industri persawitan nasional.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Teguh Firmansyah
Pekerja menaikkan buah kelapa sawit yang baru panen di kawasan perkebunan sawit di Desa Berkat, Bodong-Bodong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Kamis (10/3/2022). Harga buah tandan segar (BTS) kelapa sawit nasional saat ini berada di level terendah di Papua Barat sebesar Rp2.756,73 per kilogram dan tertinggi di Sumatera Barat sebesar Rp3.733,02 per kilogram dan diprediksi akan naik terkait konflik Rusia dan Ukraina.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Pekerja menaikkan buah kelapa sawit yang baru panen di kawasan perkebunan sawit di Desa Berkat, Bodong-Bodong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Kamis (10/3/2022). Harga buah tandan segar (BTS) kelapa sawit nasional saat ini berada di level terendah di Papua Barat sebesar Rp2.756,73 per kilogram dan tertinggi di Sumatera Barat sebesar Rp3.733,02 per kilogram dan diprediksi akan naik terkait konflik Rusia dan Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menaikkan domestic market obligation (DMO) minyak sawit dari 20 persen menjadi 30 persen. Pasalnya, kebijakan itu dinilai akan mengganggu ekosistem industri persawitan nasional.

Ketua Umum GIMNI, Sahat Sinaga, menjelaskan, kebijakan DMO yang sebelumnya sebesar 20 persen dari total ekspor CPO sudah sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional. Pasalnya, tercatat saat ini telah terkumpul pasokan minyak goreng hasil DMO 20 persen sebanyak 415,7 ribu ton atau lebih dari kebutuhan satu bulan sekitar 327 ribu ton.

Baca Juga

"Menurut kami tidak perlu DMO 30 persen, cukup 20 persen," kata Sahat dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3/2022).

Ia menjelaskan, dengan dinaikkannya DMO menjadi 30 persen, maka stok minyak sawit domestik akan terus bertambah. Sementara, kapasitas tangki penyimpanan terbatas.