Penentuan 1 Ramadhan 1443 Hijriah akan dilakukan usai Sidang Isbat pada Jumat (1/4/2022). Meski demikian, ada potensi perbedaan 1 Ramadhan antar ormas Islam terutama PBNU dan PP Muhammadiyah yang menggunakan metode berbeda dalam menentukan 1 Ramadhan.
Ustaz Ahmad Sarwat dalam bukunya Fiqih Ramadhan menjelaskan, perbedaan pendapat antara ormas Islam baik NU, Muhammadiyah, Persis dan organisasi lainnya tidak lepas dari ijtihad. Menurut dia, tidak ada nash baik Quran maupun hadits yang menyebutkan bahwa puasa Ramadhan atau lebaran 1443 hijriyah jatuh tanggal sekian. Sebagai muslim, kita wajib menghormati berbagai ijtihad yang dilakukan oleh para ahlinya mengingat sebagai awam, kita bukanlah ahli hisab. “Maka yang bisa kita lakukan adalah bertaqlid atau setidaknya ber-ittiba' kepada ahlinya,”jelas pendiri Rumah Fiqih tersebut.
Ustaz Sarwat menjelaskan, jika ahlinya berbeda pendapat, 100% kita punya hak untuk memilih. Tidak ada satu pun ulama yang berhak untuk memaksakan kehendaknya, apalagi menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan hasil ijtihad. Jika ijtihad itu benar, ulama itu akan dapat pahala. Sebaliknya kalau salah, mereka tidak berdosa bahkan tetap dapat satu pahala.
Salah satu hadits menyebutkan sebagai berikut:
ال ّص ْوُم َي ْوَم َت ُ ص ْو ُم ْو َن، َواْلِف ْط ُر َي ْوَم ُتْف ِط ُر ْو َن، َوْا َل ْض َحى َي ْوَم ُت َض ّح ْو َن
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban. “
Menurut Ustaz Sarwat, hadis ini agak cocok buat keadaan kita yang bukan ulama, bukan ahli ru'yat dan juga bukan ahli hisab. Sebagai awam, maka jadwal puasa kita mengikuti umat Islam umumnya di suatu negeri. Kalau di Indonesia umumnya atau mayoritasnya berpuasa pada Sabtu, kita tidak salah kalau ikut puasa pada hari tersebut, meski tetap menghormati mereka yang berpuasa pada Jumat.
Meski demikian, jika 50% ulama mengatakan awal puasa atau lebaran jatuh pada Jumat dan 50% lagi mengatakan Sabtu, lalu mana yang kita pilih? Menurut Ustaz Sarwat, syariah Islam memberikan kewenangan dan hak untuk menengahi perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebagaimana pemerintah berhak untuk menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali untuk menikah.
Dia menjelaskan, pemerintah resmi yang berkuasa diberikan wewenang dan otoritas untuk menetapkan jatuhnya puasa dan lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab dan ahli falak. Menurut dia, kewenangan seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu banyak dalil yang menegaskan hal itu.
"Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan seperti ini serahkan saja kepada pemerintah yang sah. Kalau pun pemerintah itu salah secara sengaja dan berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yang tanggung,"jelas dia.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata mengutip hadits nabi SAW: “Tangan Allah SAW bersama AlJama’ah." Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini oleh para ulama hingga sekarang ini. Salah satunya adalah arahan dan petunjuk dari Al-'Allamah Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Beliau berkata, “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing."