REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru yang diterbitkan di Nature Communications telah menawarkan analisa komprehensif tentang efek COVID-19 pada otak menggunakan primata bukan manusia. Studi ini menemukan infeksi SARS-CoV-2, terlepas dari tingkat keparahan penyakit, dapat menyebabkan peradangan saraf dan pendarahan kecil yang dapat menyebabkan banyak gejala neurologis.
Penelitian ini dipimpin oleh Tracey Fischer dari Pusat Penelitian Primata Nasional Tulane. Pekerjaan awal tim mengungkapkan infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan pendarahan mikro di otak. Temuan awal ini datang saat awal masa pandemi sehingga para ahli yang tidak berafiliasi dengan penelitian tersebut menjadi skeptis. Pada saat itu gejala neurologis tersebut belum terdeteksi pada pasien manusia.
“Saya telah menganalisa sistem saraf pusat selama beberapa dekade, sehingga saya tahu kapan sesuatu tidak tampak normal dan tampaknya sejalan dengan infeksi,” kata Fischer seperti dilansir dari News Atlas, Senin (4/4/2022).
Fischer dan timnya menghabiskan satu tahun tambahan untuk memvalidasi temuan awal tersebut, karena peneliti lain mulai menemukan bukti gejala neurologis yang serupa pada manusia. Hewan kontrol dipelajari dan protokol penelitian disempurnakan untuk menegaskan bahwa perubahan otak yang awalnya terdeteksi secara langsung terkait dengan infeksi virus corona.
Di samping pendarahan kecil, para peneliti menemukan peradangan otak parah yang meluas dan kerusakan neuron. Fischer mengatakan kerusakan neurologis tidak terkait dengan tingkat keparahan penyakit pernapasan. Ini berarti banyak hewan yang hanya menunjukkan gejala COVID-19 ringan namun masih mengalami kerusakan saraf.
Studi baru ini juga menawarkan wawasan berharga tentang perdebatan yang sedang berlangsung mengenai apakah dampak neurologis COVID-19 disebabkan oleh efek peradangan sistemik yang lebih luas atau virus yang secara langsung menginfeksi otak. Meskipun para peneliti memang mendeteksi jejak mikro virus SARS-CoV-2 di beberapa bagian otak, sebagian besar kerusakan dihipotesiskan kemungkinan karena hipoksia lokal yang terputus-putus.
“Ini diamati pada semua hewan yang terinfeksi, terlepas dari tingkat keparahan penyakitnya, menunjukkan berkurangnya oksigen ke otak mungkin merupakan komplikasi umum dari infeksi. Meski kecil, pengurangan oksigen dapat menyebabkan cedera, terutama di antara neuron,” kata para peneliti menyimpulkan dalam penelitian tersebut.
Temuan ini semakin memperkaya bukti yang melaporkan efek COVID-19 pada otak. Studi-studi ini membantu menjelaskan sejumlah gejala neurologis akut dan kronis yang terkait dengan penyakit ini, mulai dari kelelahan dan kabut otak hingga masalah kesehatan mental.
Namun demikian para peneliti mencatat ada keterbatasan pada temuan mereka, terutama mengingat hewan yang digunakan dalam penyelidikan berusia lanjut. Jadi tidak jelas apakah otak yang lebih tua tergolong lebih rentan terhadap kerusakan serebrovaskular semacam ini. Studi tindak lanjut jangka panjang pada pasien COVID yang lama akan diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.