REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memproyeksikan dana pihak ketiga (DPK) perbankan sebesar Rp 600 triliun sampai Rp 700 triliun pada tahun ini. Hal ini dipicu kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia seperti sawit dan batu bara akibat situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan besaran dana ini cukup tinggi. Bahkan, berpotensi terus meningkat seiring kenaikan harga komoditas di pasar dunia. Misalnya, kenaikan harga batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO).
“Saat ini kami prediksi ada sekitar Rp 600 triliun sampai Rp 700 triliun DPK yang bisa dibilang menumpuk perbankan,” ujarnya, Senin (4/3/2022).
Menurutnya kenaikan harga komoditas ini biasanya memberi dampak positif pada sektor keuangan yakni adanya tambahan likuiditas perbankan."Biasanya tahun-tahun ketika harga komoditas tinggi, kita biasanya menikmati transmisinya dari tambahan likuiditas yang terjadi dengan tingginya harga komoditas. Itu akan mengalir ke sektor perbankan," ucapnya.
Dia berharap dana sebesar itu bisa dibelanjakan agar memberikan dampak positif terhadap perekonomian. Apalagi dengan situasi pandemi covid-19 yang semakin terkendali, Febrio meyakini masyarakat juga semakin yakin untuk membelanjakan uangnya.
"Potentially bisa kami harapkan dengan confidence mulai baik, masyarakat mulai nyaman beli elektronik, pakaian, jalan-jalan dan juga membeli kendaraan bermotor. Ini kami harapkan transmisi akan baik ke perekonomian," ucapnya.
Tak hanya ke sektor perbankan, kenaikan harga komoditas turut dinikmati oleh sektor lain seperti para petani kelapa sawit maupun sektor sekitarnya. Menurutnya hal tersebut berdampak pada penjualan yang tinggi pada kendaraan bermotor, televisi maupun elektronik sehingga mencerminkan konsumsi masyarakat naik.
“Artinya akan menyalurkan DPK perbankan yang selama dua tahun ini tumbuh sangat tinggi di atas 10 persen,” ucapnya.
Menurutnya kenaikan harga komoditas memang memberikan dampak luar biasa terhadap kenaikan DPK ini. Apalagi harga CPO sebagai salah satu komoditas utama ekspor Indonesia sempat menyentuh rekor tertinggi sebesar 1.926,9 dolar AS per ton.
Dia menjelaskan, kenaikan harga komoditas biasanya berimbas pada meningkatnya konsumsi masyarakat, khususnya daerah yang mengandalkan komoditas. Dengan kelebihan likuiditas tadi, Febrio berharap transmisinya ke perekonomian bisa lebih baik lagi.
"Konsumsi masyarakat khususnya petani menikmati kenaikan harga tersebut. Jadi biasanya akan melihat komoditi harga tinggi, penjualan kendaraan bermotor akan tinggi, penjualan tv akan naik, elektronik akan tinggi," ucapnya.