REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi kenaikan signifikan terhadap harga energi hingga komoditas pangan dunia. Kenaikan harga-harga itu lantas membawa dampak negatif sekaligus positif bagi Indonesia sebagai eksportir komoditas.
Kepala BPS, Margo Yuwono, menyampaikan, rata-rata harga minyak mentah (ICP) global sepanjang Maret 2022 tembus 113,5 dolar AS per barel, naik 78,74 persen jika dibandingkan posisi Maret 2021 lalu yang masih 63,5 dolar AS per barel.
Begitu pula untuk harga batu bara, salah satu sumber energi listrik, yang tembus 294,4 dolar AS per metrik ton (mt). Harga batubara melonjak hingga 224,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Selain itu, harga gas alam tercatat sudah mencapai 42,4 dolar AS per million british termal unit (mmbtu). Margo mengatakan, kenaikan harga gas dunia tercatat tembus 591,9 persen dari Maret 2021 yang hanya 6,1 dolar AS per mmbtu.
Adapun harga minyak sawit (CPO) pada Maret 2022 sudah bertengger di angka 1.777 dolar AS per mt, naik 72,4 persen dari periode sama tahun lalu yang masih 1.030,5 dolar AS per mt.
Kenaikan harga komoditas juga terjadi untuk pangan serealia. Gandum, misalnya, harga pada bulan Maret 2022 sudah mencapai 486,3 dolar AS per mt, melonjak 78,05 persen dari periode 2021 sebesar 273,1 dolar AS per mt.
Komoditas lain, yakni kedelai sudah mencapai 720,6 dolar AS per mt, naik 23 persen dari sebelumnya 585,7 dolar AS per mt.
"Harga pangan maupun energi dunia di bulan Maret ini memang sudah terjadi peningkatan cukup signifikan," kata Margo dalam konferensi pers, Senin (18/4/2022).
Kenaikan harga-harga komoditas itu memberikan keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Sebab, diketahui Indonesia merupakan eksportir terbesar komoditas seperti batu bara da sawit.
Alhasil, nilai ekspor Indonesia pun mencatat rekor hingga mencapai 26,5 miliar dolar AS. "Nilai ekspor Indonesia merupakan yang terbesar sepanjang sejarah," kata Margo.
Kenaikan nilai ekspor ini pun terjadi di tengah konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada situasi ekonomi global. Kendati demikian, Margo tak bisa memastikan apakah kenaikan ekspor ini juga merupakan dampak dari perang yang terjadi.
Yang jelas, kata Margo, kenaikan nilai ekspor murni akibat kenaikan harga-harga komoditas. "Faktor harga yang utama sedangkan faktor pengaruh perang perlu dikaji lebih dahulu," katanya.
Sementara memberikan peluang bagi Indonesia meningkatkan nilai ekspornya, kenaikan harga dunia ini memberikan dampak negatif bagi situasi domestik.
Melonjaknya harga minyak dunia telah menyebabkan kenaikan harga BBM Pertamax milik Pertamina sebesar 38 persen dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter. Itu karena Indonesia telah menjadi negara net importir BBM. Di sisi lain, pemerintah juga mulai memberikan sinyal adanya kenaikan harga gas elpiji.
Di sektor pangan, gandum dan kedelai pun mendongkrak harga-harga pangan dalam negeri seperti roti, mie, hingga tahu dan tempe. Pasalnya, Indonesia menjadi negara importir kedua komoditas itu.
Baik Rusia maupun Ukrainan, menurut BPS, punya peran penting pada sejumlah komoditas yang diimpor oleh Indonesia.
"Rusia menjadi eksportir minyak mentah terbesar kedua di dunia dan eksportir gandum terbesar pertama di dunia, sedangkan Ukraina merupakan eksportir gandum terbesa kelima di dunia," kata Margo.