REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG--Tanpa beduk Maghrib bertalu. Tanpa kegaduhan orang-orang yang membangunkan untuk sahur. Juga, tanpa pemandangan gerombolan manusia menuju masjid yang hendak melaksanakan shalat tarawih.
Begitulah suasana Ramadhan di negeri Belanda. Bagi sebagian warga Indonesia yang berada di Negeri Kincir Angin, nuansa Ramadhan baru akan terasa ketika berada dalam masjid. Ingatanku pun melayang ke kampung halaman di Makassar. Setiap Ramadhan tiba, kemeriahan warga menyambutnya sangat terasa.
Lantunan tadarus nyaris terdengar di mana-mana melalui pengerassuara masjid. Orangorang yang bermukena dan berbaju koko dengan kopiahnya berjalan secara bergerombol menuju masjid yang tak jauh dari permukiman mereka. Belum lagi suara-suara tetabuhan yang ramai dipukul untuk membangunkan sahur. Aku kehilangan semua momen itu saat menjalani harihari Ramadhan di Belanda.
Aku berada di Belanda pada 2008 lalu dalam rangka studi dan bermukim dua tahun lamanya.
Menjalani Ramadhan di negeri orang kerap menimbulkan kerinduan dengan rumah dan orang tuaku. Apalagi saat harus mempersiapkan sahur dan berbuka puasa.
Menu sahur yang kubuat simpel saja, seperti dua buah roti gandum, berlapis sayur-mayur, sosis, tomat, mentimun, sambal, dan mayonnaise. Tapi, menu tersebut nyaris membuatku tak mampu bertahan dan perutku sering keroncongan pada siang hari.
Betapa tidak, Ramadhan 2009 lalu, di Belanda, bertepatan pada musim panas (summer). Saat itu, siang hari menjadi sangat panjang. Waktu menahan hingga berbuka puasa sekitar 18 hingga 19 jam. Inilah puasa terpanjang yang pernah kulakukan. Belum lagi, godaan di sekitar lingkungan yang begitu banyak karena mayoritas penduduk Belanda adalah non-Muslim.
Sejumlah orang duduk di kafe, menikmati santapan mereka, serta pasangan muda-mudi yang berpelukan dan mengumbar kemesraan tanpa sungkan adalah peman dangan yang biasa. Mereka tentu tak tahu bahwa pemandangan yang mereka pertontonkan dapat membuat puasaku menjadi makruh.
Tapi, alhamdulillah, jumlah warga Indonesia yang menetap di Belanda, khususnya di Den Haag, cukup banyak. Persaudaraan di antara sesama warga Indonesia pun cukup erat. Mereka tak segansegan saling membantu, khususnya kepada mahasiswa yang baru menginjakkan kakinya di negeri Belanda.
Persaudaraan inilah yang membuatku merasa tidak sendiri menjalani aktivitas ibadah di bulan Ramadhan. Untuk melepas kerinduan terhadap kampung halaman dan keluarga di Tanah Air, aku sering memilih berbuka puasa bersama dengan kawankawan dan sejumlah saudara Muslim di Masjid Al Hikmah. Masjid ini dikenal sebagai masjid Indonesia yang terletak di Jalan Heeswijkplein 170-171, Den Haag.
Setiap Ramadhan tiba, pengurus masjid yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME) Den Haag menyiapkan berbagai macam hidangan khas Indonesia. Menu yang tersaji adalah khas Indonesia, seperti bakwan, pisang goreng, nasi uduk, nasi tumpeng, opor ayam, tahu, tempe, sop ayam, kolak, lemper, dan aneka macam kue.
Detik-detik menjelang berbuka puasa, kami berzikir dan berdoa bersama-sama. Kolak pisang dan kurma yang telah tersedia di hadapan jamaah menjadi menu utama sebelum melaksanakan shalat Maghrib.
Aku seperti memiliki banyak keluarga dengan berkumpul di Masjid Al Hikmah. Setelah shalat Maghrib berjamaah, kami menikmati sejumlah menu yang telah dihidangkan di atas meja.
Kebersamaan berbuka puasa ini turut diramaikan umat Muslim dari berbagai negara, seperti Maroko, Turki, Somalia, dan warga Muslim Belanda sendiri. Selain masjid Indonesia, KBRI pun menyiapkan berbagai menu makanan khas Indonesia.
Terkadang, jika rindu dengan makanan khas kampung halamanku, yakni Coto Makassar, ikan bakar, serta sambalnya, aku menghubungi beberapa kawan, termasuk kawan sedaerah, untuk berbuka bersama. Tentu saja, kami membuat sendiri menu-menu tersebut untuk menciptakan nuansa kampung sendiri.
Aku juga kerap menerima undangan berbuka puasa dari kawan-kawan di sana. Jarak bukanlah penghalang bagi kami untuk bertemu. Aku dan kawankawan pernah memenuhi ajakan berbuka puasa di kawasan bagian utara Belanda, yakni Groningen, yang jarak tempuhnya dari Kota Den Haag sekitar tiga jam. Rasa persaudaraan dan kebersamaan membuat perjalanan yang ditem puh cukup panjang ini terasa tak melelahkan.
Saat melirik jam tangan, jam sudah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Di Indonesia, mungkin umat Muslim baru saja selesai melaksanakan shalat tarawih. Namun, di Belanda, inilah saatnya kami mempersiapkan menu berbuka. Jadwal buka puasa di Belanda sekitar pukul 22.00 waktu setempat.
Ikan bakar plus rica-rica, pallu butung, sayur daun singkong, dan sambal (khas makanan Makassar) merupakan menu berbuka puasa kami. Sambil menikmati kota kecil yang terletak di bagian utara Belanda ini, dengan mengendarai sepeda, kami menuju sebuah tempat terbuka. Kami berbuka bersama di alam terbuka. Wow, sungguh pengalaman yang tak terlupakan!
Mendadak, perasaan rindu kampung halaman dan keluarga seketika terobati setelah ngabuburit bersama pelajar-pelajar lainnya. Bila rindu dengan makanan daerah, di Belanda ini tidak begitu sulit. Asalkan kita mau mengolahnya sendiri, makanan ala Indonesia bisa saja tersaji. Karena, berbagai bumbu makanan Indonesia mudah diperoleh di beberapa toko Cina. Ini karena, bagi orang Belanda, masakan Indonesia terkenal sebagai makanan yang sangat lux (mahal) dan banyak diminati warga Belanda.