REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Teknologi Kalimantan (ITK) tidak ingin tersangkut kasus Rektor Prof Budi Santosa Purwokartiko yang membuat tulisan menjurus suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dari tulisan di akun Facebook miliknya yang kemudian sudah dihapus, Budi tidak senang jika ada mahasiswa perempuan berjilbab yang lolos seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Budi termasuk salah satu tim yang bertugas mewawancarai calon penerima LPDP di bawah Ditjen Dikti Kemendikbudristek. Ketika status kontroversial Budi menjadi viral, pihak kampus tidak mau dikaitkan dengan ulah rektornya.
"Terkait dengan pemberitaan tentang tulisan Prof Budi Santosa Purwokartiko oleh salah satu media online yang kemudian tersebar ke berbagai kanal media online lainnya dan mendapat tanggapan dari para netizen. Dengan ini, kami informasikan bahwa tulisan Prof Budi Santosa Purwokartiko tersebut merupakan tulisan pribadi dan tidak ada hubungannya dengan jabatan beliau sebagai rektor ITK," demikian pernyataan ITK dikutip di Jakarta, Sabtu (30/4/2022).
Pihak kampus pun meminta media atau warganet tidak mengaitkan tulisan Budi dengan ITK. Menurut ITK, tulisan guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut terkait pandangan pribadinya, bukan dalam posisi rektor.
"Oleh karena itu, mohon pemberitaan dan komentar lebih lanjut baik oleh media maupun para netizan tidak mengaitkan dengan institusi ITK, dan awak media atau para netizen dapat langsung berkomunikasi dengan beliau. Demikian untuk mendapat perhatian dari media dan para netizen," begitu pendapat ITK.
Baca: Mahfud Cerita Sunan Kalijogo Islamkan Pulau Jawa Pakai Metode Pertunjukan Wayang
Dari penelusuran Republika, bukan kali ini saja Budi membuat tulisan yang terkesan menyudutkan, khususnya mahasiswa berjilbab. Salah satu yang menjadi ciri khas tulisan Budi adalah diakhiri dengan salam khusus. "Salam rahayu," begitu Budi selalu menutup opininya dalam tangkapan layar yang banyak beredar di lini masa.
Berikut isi tulisan Budi Santoso Purwokartiko yang kontroversial:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat, dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.
Baca: KSAL Laksamana Yudo Margono Berkunjung ke Pentagon Bahas Keamanan Global