Senin 23 May 2022 14:54 WIB

Soal Penolakan DOB Papua, Menko Polhukam: Bagi Pemerintah DOB Itu Jalan

Istana justru mengundang anggota MRP yang setuju DOB, bukan pimpinan lembaganya.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Agus raharjo
Sejumlah pengunjukrasa dari berbagai elemen mahasiwa berunjukrtasa di Jalan Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/5/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan atas pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.
Foto: ANTARA/Gusti Tanati
Sejumlah pengunjukrasa dari berbagai elemen mahasiwa berunjukrtasa di Jalan Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/5/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan atas pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut, adanya pro dan kontra terkait rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua merupakan hal yang biasa saja. Namun, ia menegaskan, pemerintah akan tetap melanjutkan rencana DOB tersebut.

“Bagi pemerintah DOB itu jalan. Bahwa ada yang suka, ada yang tidak itu biasa saja. Undang-Undang apapun bukan hanya DOB, kalau anda mau lihat yang tidak setuju ya ada yang tidak setuju,” kata Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (23/5/2022).

Baca Juga

Pihak yang setuju dengan rencana DOB itupun telah melakukan deklarasi. Bahkan, ada bupati yang juga telah menyiapkan diri untuk menjadi calon gubernur di daerah otonomi baru tersebut. Namun demikian, Mahfud menyebut juga masih ada banyak demonstrasi penolakan rencana DOB di Papua.

“Tinggal mau nanti kita lihat prosedur hukum di sana politiknya itu, prosedur konstitusionalnya itu benar apa tidak, sekarang kalau soal pendapat itu pasti bisa berbeda. Soal apapun,” jelas Mahfud.

Sebelumnya, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timothius Murip menyayangkan pertemuan sepihak para anggotanya dengan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, hasil dari pertemuan di Istana Bogor, Jumat (20/5/2022), tak dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk mengeklaim MRP setuju dengan rencana pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.

Timothius menegaskan, MRP sampai saat ini masih pada posisi menolak semua rencana kelanjutan otonomi khusus (otsus) jilid dua di Papua maupun di Papua Barat. Termasuk menolak rencana pemerintah dan DPR membahas rancangan Undang-Undang (RUU) pembentukan tiga provinsi baru di Bumi Cenderawasih.

“Pertemuan itu tidak sah. Tidak mewakili MRP, karena tidak ada izin dari lembaga untuk pertemuan dengan pemerintah itu,” kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (20/5/2022).

Sebagai Ketua MRP, Timothius tak turut serta dalam pertemuan tersebut karena tidak menerima undangan. Namun, ia mengetahui ada ada enam anggota MRP yang ikut serta.

Mereka di antaranya adalah Amatus Ndatipits sebagai Ketua Pokja Adat MRP yang berasal dari Asmat, wilayah adat Animha. Felisitas Kabagaimu, selaku Pokja Perempuan MRP asal Kabupaten Mappi, wilayah adat Animha, dan Dorince Mehue, selaku Pokja Agama dan Ketua PWKI Papua, asal Sentani, Jayapura dari wilayah adat Tabi.

Selanjutnya, Nerlince Wamuar, Pokja Perempuan MRP asal wilayah adat Tabi dan sebagai Ketua Perempuan adat Port Numbay. Herman Yoku hadir selaku Wakil Pokja Adat MRP asal Kabupaten Keerom dari wilayah adat Tabi. Terakhir, Toni Wanggai sebagai Pokja Agama.

Timothius menegaskan, meskipun enam orang yang bertemu Presiden Jokowi itu adalah para anggota MRP, namun dari hasil pertemuan tersebut tak berhak mengatasnamakan MRP.

“Mereka adalah oknum-oknum dari MRP yang mengatasnamakan MRP, mereka tidak resmi. Mereka tidak boleh mengatasnamakan MRP,” kata Timothius.

Dalam pertemuan Jokowi dengan MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) di Istana Kepresidenan Bogor, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw yang ikut dalam pertemuan tersebut mengapresiasi pertemuan yang membahas DOB tersebut.

Mathius mengklarifikasi mengenai simpang siurnya informasi mengenai penerapan pelaksanaan Undang-Undang No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus di Papua. Kemudian di dalamnya adalah daerah otonomi baru, khusus untuk di Provinsi Papua, ada DOB Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Tengah.

Mathius mengatakan, rencana pembentukan daerah otonomi baru tersebut merupakan aspirasi murni warga Papua yang telah diperjuangkan sejak lama. Ia mencontohkan rencana pembentukan daerah otonomi baru Papua Selatan yang telah diperjuangkan selama 20 tahun.

“Jadi ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Tapi ini adalah aspirasi murni, baik dari Papua Selatan maupun Tabi, Saereri, juga La Pago, dan Mee Pago,” kata Mathius.

Ia menjelaskan, aspirasi yang didorong tersebut berdasarkan pada wilayah adat, bukan berdasarkan demonstrasi di jalan. Menurutnya, masyarakat Papua berharap DOB nantinya bisa mempercepat kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.

Mathius mengatakan, UU Otsus mengikat semua masyarakat di seluruh Tanah Papua sehingga ada kepastian hukum untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah adat di Tanah Papua.

“Kita butuh itu kepastian. Karena itu, kalau pemekaran itu, itu masalah administrasi pemerintahan, tapi ke Papua itu diikat dengan Undang-Undang Otsus. Persoalan kita adalah implementasinya, harus konsisten baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, pemerintah daerah. Di situ persoalannya sebenarnya,” ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement