Selasa 07 Jun 2022 01:45 WIB

CSIS Ungkap Empat Implikasi Politik dan Hukum Pascapemindahan Ibu Kota 

Pemindahan ibu kota akan berdampak terhadap kebijakan dan politik

Rep: Febrian Fachri / Red: Nashih Nashrullah
Pengunjung berfoto di lokasi titik nol pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (1/6/2022). Titik Nol IKN menjadi salah satu destinasi wisata yang menyerap perhatian publik usai penyatuan tanah dan air nusantara oleh Presiden Joko Widodo dan 34 Gubernur se-Indonesia pada 14 Maret 2022 lalu.
Foto: ANTARA/Olha Mulalinda
Pengunjung berfoto di lokasi titik nol pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (1/6/2022). Titik Nol IKN menjadi salah satu destinasi wisata yang menyerap perhatian publik usai penyatuan tanah dan air nusantara oleh Presiden Joko Widodo dan 34 Gubernur se-Indonesia pada 14 Maret 2022 lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terdapat empat implikasi politik dan hukum setelah Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota negara. Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk 'Rilis Survei Ahli: Pemindahan Ibu Kota: Prospek Kepemimpinan Jakarta', Senin (6/6/2022). 

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Arya Fernandes, memaparkan dampak tersebut pertama, pemindahan ibu kota akan berimplikasi pada ambang batas perolehan suara kandidat kepala daerah.  

Baca Juga

"Dalam (Pasal 11) Undang-Undang Pemprov DKI Jakarta, kandidat yang akan ditetapkan sebagai kepala daerah adalah mereka yang berhasil mendapatkan 50 plus 1 suara dalam pilkada, sementara dalam UU Pilkada sebelumnya dikenal 30 persen, tapi sekarang klausul tidak dikenal ambang batas perolehan suara kandidat untuk ditetapkan sebagai kepala daerah," kata Arya.  

Dalam survei yang dilakukan CSIS, Arya mengatakan diketahui para ahli terbelah dalam menyikapi perlu atau tidaknya Pasal 11 UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta direvisi. Sebanyak 56,5 persen ahli menilai pasal tersebut perlu direvisi. "Sementara 42,9 (persen) menyatakan tidak setuju direvisi," ujarnya.  

Kedua, pemindahan ibu kota juga akan berimplikasi pada level otonomi daerah Jakarta. Survei menunjukan sebanyak 77,6 persen ahli berpendapat sebaiknya level otonomi Jakarta tetap berada di level provinsi. Sedangkan 21,8 persen lainnya menyatakan sebaiknya level otonomi Jakarta berada di kabupaten/kota 

Arya juga menjelaskan dampak ketiga, pemindahan ibu kota negara juga akan berimplikasi pada metode pemilihan kepala daerah di Jakarta. Sebanyak 54,7 persen ahli mengatakan wali kota dan bupati sebaiknya diangkat oleh gubernur atas pertimbangan DPRD. Sedangkan 44,7 persen lainnya menyatakan wali kota dan bupati sebaiknya dipilih langsung oleh masyarakat dalam pilkada.  

Kemudian CSIS yang keempat, dalam surveinya juga menanyakan kepada responden terkait daerah pemilihan luar negeri setelah Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota. Hasilnya 64,2 persen responden ahli berpendapat sebaiknya dapil luar negeri di ibu kota negara baru.  

"Ada empat implikasi politik dan hukum yang perlu mendapatkan perhatian DPR dan pemerintah terutama ketika melakukan revisi UU 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta," ucapnya.  

Untuk diketahui survei dilakukan pada 29 Maret-12 April 2022. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka dan virtual. Adapun target sample dalam survei tersebut yaitu kelompok ahli yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam memprediksi dan menganalisis isu-isu sosial, politik, dan ekonomi. Jumlah responden yang diwawancarai dalam survei ini sebanyak 170 responden.    

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement