Rabu 08 Jun 2022 17:15 WIB

Blinken Kritik Sejumlah Negara Amerika Latin Tekan Kebebasan Pers

Sejumlah negara di Amerika menekan pers dan mengintimidasi jurnalis

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
 Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengkritik upaya sejumlah negara Amerika Latin menekan kebebasan pers.
Foto: AP/Alex Brandon/Pool AP
Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengkritik upaya sejumlah negara Amerika Latin menekan kebebasan pers.

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Anthony Blinken mengkritik upaya sejumlah negara Amerika Latin menekan kebebasan pers. Ia mengatakan AS mendorong peningkatan perlindungan pada media di kawasan dengan angka pembunuhan jurnalis tertinggi di dunia.

Hal ini disampaikan dalam acara kebebasan pers sebelum  Summit of the Americas  yang mempertemukan negara-negara di kawasan untuk membahas masalah ekonomi dan imigrasi. Blinken mengatakan sejumlah pemerintah di kawasan menggunakan undang-undang dan pemantauan untuk menekan pers dan mengintimidasi jurnalis.

Ia menyerang Kuba, Nikaragua, dan Venezuela yang tidak diundang Presiden Joe Biden ke Summit of Americas karena dinilai tidak demokratis. Blinken mengatakan jurnalisme independen dimasukan sebagai kejahatan tiga negara itu.

"Tidak ada kawasan di dunia yang lebih berbahaya bagi jurnalis," kata Blinken, Selasa  (7/8).

Ia menambahkan setidaknya sudah 17 pekerja media yang tewas dibunuh tahun ini di Bagian Bumi Sebelah Barat. Ia mengutip angka pembunuhan terhadap jurnalis yang dicatat UNESCO.

Pekan lalu jurnalis Inggris Dom Phillips dan pakar masyarakat pribumi Bruno Pereira hilang di Brasil. Ketika mereka sedang meliput wilayah hutan tropis Amazon yang terpencil dan tak tersentuh hukum dekat Peru.

"Kejahatan seperti bertahan karena orang-orang yang memberi perintah dan melakukannya sangat jarang dimintai pertanggung jawaban, ini mengirim pesan serangan-serangan ini akan tetap kebal hukum," kata Blinken. Dalam kesempatan ini ia juga mengkritik El Salvador.

"Pemerintah menggunakan undang-undang untuk menekan kebebasan berekspresi, seperti yang kita lihat di amandemen yang baru-baru ini diadopsi El Salvador pada Maret dan April tahun ini," katanya.

Pada bulan Maret lalu El Salvador mencatat 62 pembunuhan dalam satu hari. Hari paling mematikan sejak perang sipil berakhir pada tahun 1992. Dalam merespon hal itu Majelis Legislatif yang dikuasai partai populis sayap kanan Presiden Nayib Bukele mendeklarasikan darurat nasional dengan menangguhkan hak-hak konstitusional masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement