REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Amerika Serikat (AS) mempertanyakan China dan Rusia menempatkan kemitraan strategis "tanpa batas" mereka di atas keamanan global. Setelah kedua negara itu memveto sanksi PBB pada Korea Utara atas uji coba rudal balistik.
"Kami berharap veto-veto ini tidak mencerminkan kemitraan itu," kata diplomat senior AS Jeffrey DeLaurentis di Majelis Umum PBB dalam merespon veto di Dewan Keamanan PBB dua pekan yang lalu, Kamis (9/6/2022).
"Penjelasan mereka untuk menerapkan hak veto tidak cukup, tidak kridibel dan tidak menyakinkan. Veto itu tidak diterapkan untuk melayani keamanan dan keselamatan kolektif kami," kata DeLaurentis di hadapan China dan Rusia.
Pada Februari lalu China dan Rusia mendeklarasikan kemitraan "tanpa batas" tepat tiga pekan sebelum Rusia menggelar invasi ke Ukraina. Veto mereka pada isu Korea Utara (Korut) memecahDewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya dalam menghukum Pyongyang sejak 2006.
Dalam hak jawabnya China menanggapi pernyataan tersebut di Majelis Umum. "(China menolak) komentar dan tuduhan tak masuk akal terhadap posisi pilihan China," kata diplomat Cina Wu Jianjian.
"Pilihan China menolak rancangan resolusi yang disusun Amerika sepenuhnya masuk akal dan dapat dibenarkan. Terus meningkatkan sanksi terhadap DPRK (Korut) hanya akan membuat kemungkinan solusi politik semakin kecil," katanya.
Misi Rusia di PBB belum merespon langsung pernyataan AS di Majelis Umum yang beranggotakan 193 negara. Korut menggelar lusinan peluncuran rudal balistik tahun ini. Termasuk rudal jarak jauh antar-benua (ICBM).
Peluncuran-peluncuran itu mengakhiri moratorium Pyongyang dalam menggelar uji coba rudal pada tahun 2018. Setelah Pemimpin Korut Kim Jong-un bertemu untuk pertama kalinya dengan mantan Presiden Donald Trump.
AS memperingatkan Korut bersiap menggelar uji coba nuklir ke tujuh. Mereka mengatakan bila Pyongyang menggelar uji coba tersebut maka mereka akan kembali menekan negara itu dengan sanksi-sanksi PBB.