REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Falakiyyah PBNU KH Sirril Wafa menjelaskan ihwal syariat hingga sains tentang perbedaan penetapan Idul Adha antara Indonesia dengan Saudi.
"Secara syar'i, awal hari dimulai dari saat ghurub (terbenam) matahari hingga ghurub berikutnya. Jarak antara kedua negara cukup jauh, secara geopolitik juga beda, karena tidak dalam satu kawasan. Ini meniscayakan adanya perbedaan dalam memulai hari," kata Kiai Sirril saat dihubungi Republika, Senin (4/7) dini hari.
Di lain pihak, ketampakan posisi bulan/hilal yang menandai masuknya awal bulan bisa berbeda. Pada kasus awal penetapan Dzulhijjah tahun ini, di Arab Saudi posisi hilal baik tinggi maupun elongasinya dinilai sudah memungkinkan untuk dapat dirukyat.
Sementara di Indonesia sudah diambil sikap dengan penerapan kriteria baru (Neo MABIMS dengan tinggi hilal minimal 3 derajat dengan elongasi minimal 6,4 derajat) dan di seluruh Indonesia belum mencapai kriteria. Dengan diperkuat laporan hasil rukyat yang nihil, maka dengan penjelasan tersebut antara kedua negara suatu saat bisa menjadi bersamaan dalam mengawali bulan. Karena itu, penetapan Idul Adha saat ini berbeda antara kedua negara.
Kiai Sirril menekankan hari Arafah adalah hari/tanggal 9 Dzulhijjah. Hari tersebut tidak mutlak sama dengan hari pelaksanaan wukuf di Arafah, kecuali jika di Arab Saudi sendiri.