Peringatan Hari Perempuan Nasional pertama kali dilakukan pada 28 Februari 1909 di New York, Amerika Serikat. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh para pekerja pabrik garmen yang menuntut hak berpendapat dan berpolitik.
Kini 110 tahun sudah Women's Day diperingati. Isu kesetaraan masih menjadi tuntutan kaum perempuan sehingga tema yang diusung adalah Balance for Better. Kesetaraan ekonomi (upah) menjadi isu utama. Tuntutan yang sama telah didengungkan sejak 1908 ketika 15 ribu pekerja wanita turun ke jalan di New York City.
Satu abad berlalu, tuntutan masih sama. Kesejahteraan perempuan masih sebatas tuntutan, tak kunjung menjadi kenyataan. Kaum perempuan tetap hidup dalam lumpur nestapa, bahkan makin sengsara.
Kapitalisme Menyengsarakan Perempuan
Kesulitan ekonomi menjadi persoalan dunia ketika sistem ekonomi kapitalisme diterapkan secara global. Para pemilik modal besar membangun industri raksasa dan menggiring perempuan untuk menjadi pekerjanya. Berbondong-bondonglah perempuan keluar rumah dan menjadi pekerja industri.
Dari sinilah persoalan muncul. Para perempuan berharap meraih sejahtera dengan masuk ke industri. Namun nyatanya kekayaan dunia hanya dikuasai segelintir pengusaha. Sementara perempuan harus menanggung "ongkos" sosial karena meninggalkan tugas utamanya sebagai istri dan ibu.
Generasi yang kehilangan sentuhan ibu, lari ke pergaulan bebas, narkoba, miras dan genk anarkis. Keretakan rumah tangga kian mewarnai hari-hari. Perempuan tak merasakan kebahagiaan, meski mendapat upah setiap bulan.
Bahkan perempuan makin kehilangan jatidirinya. Tak hanya enggan punya anak, kini tren enggan berpasangan melanda perempuan. Gerakan "I'm single happy" kebablasan hingga para perempuan lebih suka memelihara anjing daripada mengasuh buah hati.
Namun, meski telah menanggung ongkos sosial sedemikian rupa, secara ekonomi perempuan tetap tak sejahtera. Lantas, perempuan mendapat apa? Perempuan seolah gigit jari. Tak bahagia, miskin pula.
Namun, sesat pikir menjadikan perempuan mengira laki-laki-lah penyebab semua masalahnya. Pemilik industri yang mayoritas laki-laki, pemegang kebijakan yang mayoritas laki-laki, bahkan ulama yang kebanyakan laki-laki, semuanya menjadi tertuduh atas masalah kesejahteraan perempuan.
Padahal dalam sistem ekonomi kapitalisme, laki-laki sama miskinnya dengan perempuan. Pun juga sama stressnya, sebagai tanda tak bahagia.
Maka menyalahkan laki-laki dan menuntut kesetaraan tak akan menyelesaikan persoalan kesejahteraan perempuan. Meski Women's Day diperingati hingga seabad lagi.
Selama sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan, selama itu pula mayoritas penduduk dunia tak akan sejahtera. Baik perempuan maupun laki-laki. Sistem inilah yang menghisap kekayaan alam dunia untuk disimpan dalam brankas-brankas kapitalis global. Maka sistem ekonomi ini harus ditinggalkan dan beralih pada sistem Islam.
Islam Membuat Perempuan Bahagia Sejahtera
Islam memuliakan perempuan dengan memposisikannya pada kodratnya. Yaitu istri dan ibu. Posisi ini dihormati dan dijunjung tinggi dalam Islam.
Sehingga perempuan tak dinilai dari kecantikan maupun kekayaannya. Tapi dari pelaksanaan tugas utamanya yaitu mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Ummul Mukminin Khadijah dikagumi bukan karena fisiknya, orang bahkan tak banyak tahu bagaimana wajahnya.
Namun beliau menjadi idola karena dedikasi beliau pada sang suami, Rasulullah SAW. Ibunda Imam Syafi'i tak dikagumi karena kekayaannya, tapi kualitas pendidikannya pada sang putra. Ketika menjalankan tugasnya, perempuan tak akan menanggung beban ganda. Justru para muslimah dengan sukacita menjalankan tugas utamanya sebagai "ummun wa robbatul bait" karena di sinilah ladang pahalanya.
Perempuan dalam sistem Islam tak pusing memikirkan upah. Perempuan tidak ditimbang berdasarkan sumbangan kekayaannya bagi ekonomi negara atau dunia. Juga tak dinilai "kemandiriannya" dalam ekonomi.
Karena syariat Islam menggariskan bahwa perempuan dinafkahi. Maka yang dituntut untuk bekerja dan menyejahterakan perempuan adalah walinya. Yaitu para laki-laki. Jika para laki-laki di jalur wali ini lemah sehingga tak mampu mencukupi nafkah, maka perempuan dinafkahi oleh negara. Selamanya, perempuan selalu dinafkahi. Meski mereka telah menjadi janda.
Perlakuan Islam yang memuliakan perempuan ini bukan janji kosong layaknya kampanye politik. Solusi Islam ini telah terbuktikan saat sistem ekonomi Islam diterapkan oleh para khulafa' dalam peradaban Islam. Selama berabad-abad perempuan dalam sistem Islam merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Bukti tingginya kualitas hidup perempuan dalam sistem Islam adalah sikap para raja Eropa yang mempercayakan putri-putrinya untuk sekolah di khilafah Abbasiyah. Juga banyaknya ilmuwan muslimah yang menghasilkan aneka penemuan yang bermanfaat.
Para pengusaha muslimah juga ada dalam sistem Islam dan bahkan turut menjadi donatur berbagai poyek pembangunan demi kemaslahatan umat. Perempuan juga tampil dalam pemerintahan, pada posisi-posisi yang dibolehkan syariat.
Mereka menjadi direktur, hakim, dan sebagainya. Sungguh sistem Islam tak hanya menyejahterakan perempuan tapi mengangkat mereka dalam posisi yang mulia.
Sehingga kebahagian tak hanya mereka rasakan di dunia, namun juga di surga. Karena sistem Islam memfasilitasi muslimah untuk taat pada Rabb-nya.
Pengirim: Ragil Rahayu SE, Perempuan, Muslimah dan Ibu asal Lampung