Indonesia ialah negeri yang memiliki kekayaan mineral terbilang besar dibanding negara-negara lain di dunia. Emas, misalnya, kontribusi Indonesia sekitar 39 persen cadangan dunia, nomor dua di bawah China.
Mineral lain seperti perak, tembaga, dan batu bara pun melimpah. Volume hasil tambang tersebut masuk dalam 10 besar di dunia. Penemuan tambang mineral baru juga selalu terjadi setiap tahun. Hal yang wajar, jika Indonesia disebut “gadis cantik” bagi investor.
Rasio kesuksesan eksplorasi tambang di Indonesua pun cukup tinggi, yaitu sekitar 8 persen. Tak hanya skala besar, tambang skala kecil juga kerap muncul dari hasil eksploirasi sebelumnya.
Namun, sangat memprihatinkan SDA yang berlimpah tersebut tidak diperuntukan guna kepentingan rakyat, tetapi dinikmati oleh pengusaha yang dilegalkan oleh penguasa. Masyarakat kesulitan membiayai pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Kemiskinan adalah akibat dari pembangunan ekonomi yang tidak berhasil. Ekonomi riil tak cukup berkembang dan merata, sehingga tidak cukup menyediakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan semua orang. Banyak sekali aturan, konvensi dan tradisi yang justru menghalangi akses anak bangsa pada modal, teknologi dan pasar, sehingga mereka ibarat mati kelaparan di lumbung padi.
Seperti yang dialami Aprilian Wulandari (13 tahun), dikutip dari harnas.co, yang tewas akibat tenggelam dalam lubang bekas tambang batu bara milik PT Transisi Energi Satunama, Lok Bahu, Samarinda, Kalimantan Timur. Lepas tanggung jawab, tanpa melakukan reklamasi kembali menutup lubang yang telah menganga akibat proses penambangan. Akibatnya ratusan jiwa yang melayang sia-sia tanpa ada tanggung jawab dari pemilik tambang atau pemerintah daerah setempat.
Dalam syariat Islam, SDA yang jumlahnya besar tidak boleh diserahkan kepemilikannya kepada individu. Individu yang mengelolanya wajib diperlakukan sebagai pekerja (ajir), dan bukannya mudharib (pengelola dalam suatu aqad syirkah).
Sebagai ajir, dia mendapat upah yang sesuai dengan tenaga profesional yang dikeluarkannya, bukan sesuai dengan hasilnya, karena “hasil usaha SDA” hakekatnya adalah milik publik. Hutan, laut, sumber daya mineral, energi bahkan keindahan alam, hakekatnya adalah milik publik, sehingga hasil setiap eksploitasi komersialnya seharusnya dikembalikan untuk kemaslahatan umum.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal: Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola suatu tambang garam. Rasul semula meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat, “Wahai Rasulullah, tahukan engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir ( ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat (alasan) dari larangan sesuatu milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya terlalu banyak untuk dimiliki indivisu. Hal yang sama terlihat dalam hadits yang sangat terkenal, dimana Rasulullah bersabda “Manusia berserikat dalam air, api, dan padang gembalaan.”
Air, api dan padang gembalaan adalah sumber penghidupan bagi suatu masyarakat, yang apabila tidak tersedia, pasti mereka tercerai berai, dan oleh karena itu ketiganya harus menjadi milik umum. Negara akan berperan sebagai wakil masyarakat ketika mengelola SDA ini. Tentunya untuk kesejahteraan rakyat.
Wallahu a’alam bishawab
Pengirim: Rindyanti Septiana S.Hi, Pegiat Literasi Islam & Jurnalis Muslimah Medan