Kehadiran dunia digital dengan perangkat internetnya disebut sebut membawa pencerahan bagi penggunanya. Dengan menggunakan digital persoalan yang dihadapi semakin mudah. Ditambah lagi dengan merambahnya internet sampai ke pelosok pelosok desa, dan dilengkapi pula dengan hadirnya telepon genggam berteknologi degital, dengan berbagai merek dan fitur, yang menjadikan dunia dalam genggaman.
Namun pada sisi lain dunia digital memiliki sisi gelap, jika penggunanya tidak pandai pandai untuk menggunakan. Bisa-bisa si pengguna menginap dihotel prodeo. Teknologi digital dengan menggunakan internet menjadikan dunia dalam genggaman. Dengan hanya menggunakan jari, nyaris seluruh informasi di belahan dunia dapat untuk diakses.
Sehingga merubah pribahasa lama " Mulutmu adalah harimau " kini menjadi " Jarimu adalah penjaramu ", karena salah memijat ponsel bisa masuk penjara. Sisi gelap dari dunia digital ditanah air semakin lengkap dengan lahirnya Undang Undang (UU) nomor: 11 tahun 2008 tentang Imformasi Transaksi Elektronik (ITE) dengan pasal pasal yang penuh multi tafsir.
Walaupun sebenarnya tujuan dari dilahirkannya UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE diera Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah sebagai pelindung bagi warga Indonesia dari kejahatan didunia maya.
Namun belakangan UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, kemudian direvisi pada tahun 2016, dengan dicantumkannya Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan/pencemaran nama baik, sehingga banyak pihak menyalah gunakan Pasal 27 ayat (3) itu untuk dijadikan alat memenjarakan orang.
Sementara Pasal 27 ayat (3), dinilai sebagai pasal karet, karena tidak jelas tolak ukurannya. Sebagai mana bunyi dari pasal tersebut.
"Melarang setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya impormasi elektronik dan/atau dekumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ".
Akibat dari penyalah gunaan Pasal 27 ayat (3), sehingga membatasi hak berekspresi dan berpendapat bagi warga net dimedan sosial. Hal ini membuktikan bahwa UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE sebenarnya tidak sejalan dengan hak digital yang telah disetujui oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Dimana Dewan Hak Azasi Manusia (HAM) dari PBB, telah melegalkan ketetapan yang tidak mengikat, mengutuk negara yang secara sengaja menghambat akses internet oleh masyarakat.
Ketetapan ini muncul setelah PBB membuat pernyataan terkait hak digital, memperkuat pendirian organisasi tersebut, bahwa hak manusia yang dilindungi secara offline juga harus pula dilindungi secara " online " terutama tentang kebebasan berekspresi yang diatur dalam pernyataan umum tentang HAM.
Walaupun dunia digital adalah salah satu sarana pencerahan, dan kebebasan dalam berekspresi untuk menyampaikan pendapat. Namun tidak semua persoalan dan informasi dapat untuk diungkap dan disebarkan melalui digital.
Salah satu contoh persoalan perseteruan Galih Ginanjar dengan artis Fairuz A Rafiq yang melibatkan Pablo Benua dan Rey Utami yang menyebarkan konten vidio yautobe Ikan Asin, merupakan bukti bahwa tidak selamanya dunia digital itu dijadikan oleh sipenggunanya sebagai sarana pencerahan.
Karena tujuan dari cita cita sarana digital adalah kemanusiaan, untuk memberi akses warga pelosok desa untuk mendapatkan informasi dan edukasi. Tapi kenyataannya konten vidio youtube Ikan Asin yang seharusnya dipakai sebagai media edukasi, malah justru digunakan untuk menyebarkan konten yang melecehkan wanita.
Yang mirisnya lagi, bukan hanya vidio Ikan Asin saja, yang menjadikan digital sebagai obyek penyebaran informasi yang tidak bermoral. Malah banyak konten konten serupa, dalam banyak kasus malah pengguna digital menyebarkan konten yang tidak penting dan bahkan melecehkan.
Berbeda dengan yang dialami oleh dua youtube Rius Vernandes dan Elwiyana Monika yang diadukan oleh organisasi karyawan pesawat PT Garuda Indonesia kepada Polisi dengan tuduhan dugaan pencemaran nama baik.
Rius Vernandes dan rekannya Elwiyana Monika diadukan ke Polisi karena memosting kartu menu makanan yang ditulis tangan diakun instagram miliknya. Postingan itu dilakukan didalam pesawat Garuda, dalam penerbangan dari Syidnay Australia menuju Bali. Walaupun belakangan kasus pencemaran nama baik ini berakhir dengan damai.
Jika melihat postingan itu, memang tidak ada niat buruk dari Rius dan temannya untuk mempermalukan Garuda.
Rius dan temannya hanya menggunakan haknya selaku penumpang kelas bisnis dipesawat Garuda untuk melakukan keritikan terhadap pelayanan perusahaan penerbangan plat merah itu. Tapi kiritikan itu akhirnya berbuah petaka karena Rius dan teman wanitanya harus berhadapan dengan hukum.
Yang menariknya dari kasus ini, pihak Garuda mengeluarkan larangan bagi penumpang untuk mengambil foto dikanbin pesawat. Belakangan larangan itu dicabut dan diganti dengan imbauan.
Itupun karena munculnya sindiran dari putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaisang Pangerap melalui akun Twitter pribadinya, dengan memasang foto dirinya bersama keluarganya dikabin pesawat " Apakah sebentar lagi foto lama kami akan dicekal karena tidak diperbolehkan?". Tulis Kaisang@kaisangpp, Rabu 17 Juli 2019.
Perlu Kehati Hatian
Walaupun aplikasi digital berbasis internet dinilai sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat untuk dibendung. Tapi bagi penggunanya perlu untuk diingatkan agar berhati hati dalam penggunaannya.
Pemamfaatan aplikasi degital, merupakan salah satu bentuk dari perobahan zaman dari kompensional kedegital dalam segala asfek kebutuhan manusia modern. Karena pemamfaatan aplikasi digital telah memengaruhi perilaku konsumtif masyarakat dalam memenuhi kebutuhan.
Aplikasi digital dengan kecanggihan ponsel dan perkembangan media sosial, sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat untuk ditahan.
Selain untuk dijadikan sebagai kebutuhan dasar rumah tangga, aplikasi digital juga dijadikan sebagai media berekspresi dalam berpendapat sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28e ayat (3) " Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Kemudian dalam UU nomor : 39 Tentang HAM Pasal 3 ayat (2) " Setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan, menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan, melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa ".
Sedangkan didalam UU nomor: 9 tahun 1998 tentang kebebasan berpendapat Pasal 4 dikatakan Bahwa " Penyampaian pendapat harus mewujudkan kebebasan bertanggungjawab". Kebebasan yang dimaksud adalah dengan memperhatikan norma yang ada.
Kebebasan berpendapat yang dimaksudkan dari tiga UU tersebut, ternyata tidak berbanding lurus dengan UU nomor : 11 tahun 2008 tentang ITE
pada Padal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, dijadikan sebagai alat saling adu. Sementara Pasal tersebut memiliki makna multi tafsir, tentang yang dimaksud dengan pencemaran nama baik.
Maka untuk itu pemerintah perlu untuk menyelaraskan UU nomor : 11 tahun 2008 tentang ITE dengan UU yang mengatur tentang kebebasan berpendapat demi terujudnya demokrasi yang bebas dan bertanggungjawab. Semoga!.
Penulis: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.