Akhir September 2019 menjadi pekan pergerakan mahasiswa sebab secara serempak mahasiswa dari Sumatera hingga ujung Timur menggelar aksi ke kantor DPR dan DPRD. Salah satu tuntutannya ialah perbaikan UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sudah disahkan pada 17 September 2019 lalu.
UU KPK yang baru saja direvisi dinilai justru melemahkan KPK. Independensi KPK terancam sebab tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
KPK merupakan lembaga negara yang diharapkan mampu memberantas korupsi yang semakin merajalela. Track record KPK di tahun 2018 yang berhasil melakukan 30 OTT (Operasi Tangkap Tangan), 121 menjadi tersangka diantaranya 21 orang kepala daerah.
Hampir Rp 500 Miliar dana korupsi yang dikembalikan ke kas negara. Angka yang membuat miris memang, mengingat di tahun 2019 kasus yang berhasil diungkap juga tidak kecil.
Hal ini tentunya membuat para pengkhianat negara gerah. KPK ingin dilemahkan secara sistemik. Banyak pihak menilai salah satu caranya dengan merevisi UU KPK.
Bahkan, RUU KPK di revisi bersamaan dengan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. Dengan revisi ini, KPK tidak lagi menjadi lembaga yang garang memberantas korupsi.
Isu Taliban pun dihembuskan. Agar masyarakat tak fokus pada revisi UU ini. Perhatian masyarakat dialihkan pada isu radikalisme di tubuh KPK, yang pada faktanya tidak terjadi.
Masyarakat sangat membutuhkan lembaga independen yang mampu memberantas korupsi, bukan sekedar menangkap pelaku. Jika hanya pelaku korupsi ditangkap tanpa tindak pencegahan, tidak membuat efek jera. Terlebih peran KPK saat ini dikebiri.
Sungguh, besarnya angka korupsi di Indonesia bukan hanya disebabkan ketamakan individu tetapi karena kerusakan sistemik. Sistem yang memberi celah bagi pejabat dan pemangku kekuasaan melakukan tindak pidana korupsi.
Selain memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar dapat berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab politik demokrasi memang membutuhkan dana sangat besar.
Kerusakan sistemik membuat manusia tidak lagi mengindahkan perintah al-Khaliq. Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor sistem. Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang harus dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan sistem demokrasi-kapitalis itu sendiri.
Sistem yang merusak diganti dengan sistem yang dapat memberikan solusi bagi setiap permasalahan, termasuk korupsi. Pasti, sistem tersebut harus berasal dari al-Khaliq, yang Maha Mengetahui problematika manusia, tidak lain adalah Islam.
Jika Islam diterapkan, maka hukum yang berlaku sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif). Selain kedua peran tersebut, dengan didukung sanksi yang tegas dari Syariah Islam, korupsi akan dapat dicegah dengan tiga hal yakni ketaqwaan individu untuk menjalankan hukum al-Khaliq, kontrol masyarakat melalui amar ma’ruf nahi munkar, dan aturan Islam yang diberlakukan oleh negara.
Hukum Islam bersifat baku, maka tidak akan berlaku revisi UU yang justru melemahkan lembaga pemberantasan korupsi. Baku namun tidak beku, Islam mampu menyelesaikan persoalan seiring berkembangnya zaman.
Dengan proses penggalian hukum yang shahih, berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentunya masalah korupsi tidak akan mencuat. Rakyat sejahtera dan tidak dikhianati, serta mahasiswa dapat fokus menjadi pemuda yang menelurkan karya demi kepentingan ummat. Tentu, hal ini tidak dapat terlaksana kecuali hanya dengan keberadaan institusi berasaskan aqidah Islam.