Tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka, cedera, cacat, dan atau kematian.
Pengertian di atas diambil dari Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Anehnya, sejak Permendikbud ini disahkan tahun 2015 sampai sekarang masih banyak beredar berita-berita di berbagai media massa baik siber maupun cetak memberitakan tindak kekerasan di lingkungan sekolah.
Tindak kekerasan itu dilakukan guru kepada siswa. Beberapa lagi siswa kepada guru. Ada juga guru terhadap guru. Namun yang sering ditemui di lapangan sebagian besar dilakukan siswa pada siswa.
Tidak perlu data statistik untuk membuktikan ini. Berbagai berita tentang kekerasan di berbagai media massa adalah faktanya. Tidak percaya ? Silahkan cek fakta.
Buka saja Google, ketik "tindak kekerasan di sekolah". Silahkan dilihat lalu dibaca ada puluhan bahkan ratusan link berita tentang tindak kekerasan di sekolah.
Siapapun pelakunya, secara yuridis semua ini tidak dapat dibenarkan. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28G menyebutkan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Atas dasar pemikiran ini sekolah sebagai salah satu penyelenggara pendidikan harus dapat melakukan usaha pencegahan tindak kekerasan.
Menurut Pasal 7 Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilakukan oleh peserta didik, orang tua, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah.
Berkaitan dengan hal ini ada sembilan hal yang harus dilakukan sekolah untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di lingkungan pendidikan.
Pertama, menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang bebas dari tindak kekerasan.
Kedua, membangun lingkungan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta jauh dari tindak kekerasan antara lain dengan melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka pencegahan tindak kekerasan.
Ketiga, wajib menjamin keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi peserta didik dalam pelaksanaan kegiatan / pembelajaran di sekolah maupun kegiatan sekolah di luar satuan pendidikan.
Keempat, wajib segera melaporkan kepada orang tua atau wali termasuk mencari informasi awal apabila telah ada dugaan atau gejala akan terjadinya tindak kekerasan yang melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun pelaku.
Kelima, wajib menyusun dan menerapkan Prosedur Operasi Standar (POS) pencegahan tindak kekerasan dengan mengacu kepada pedoman yang ditetapkan Kementerian.
Keenam, melakukan sosialisasi POS dalam upaya pencegahan tindak kekerasan kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali, komite sekolah, dan masyarakat.
Ketujuh, menjalin kerjasama antara lain dengan lembaga psikologi, organisasi keagamaan, dan pakar pendidikan dalam rangka pencegahan.
Kedelapan, wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan kepala sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa; dan perwakilan orang tua.
Kesembilan, wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses oleh peserta didik, orang tua atau wali, guru dan tenaga kependidikan, dan masyarakat.
Layanan pengaduan di atas paling sedikit memuat tujuh hal yaitu: 1) laman pengaduan http://sekolahaman.kemdikbud.go.id, 2) layanan pesan singkat ke 0811-976-929, 3) telepon ke 021-5790-3020 atau 021-570-3303, 4) faksimile ke 021-5733125, 5) email [email protected], 6) nomor telepon kantor polisi terdekat, 7) nomor telepon kantor dinas pendidikan setempat, dan 8) nomor telepon sekolah
Sembilan langkah pencegahan tindak kekerasan di atas harus dilaksanakan sekolah secara optimal. Harapannya adalah terciptanya kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
Kondisi semacam ini terwujud jika semua warga sekolah terhindar dari unsur-unsur tindakan kekerasan. Implikasinya jelas menumbuhkan kehidupan pergaulan yang harmonis dan kebersamaan antar siswa atau atau antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat pada umumnya.
Bagi guru ada baiknya selalu ingat dan patuh pada kode etik guru. Sedangkan bagi siswa harus selalu patuh pada tata tertib yang ada di sekolah.
Pasal 12 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan setiap peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Jadi jelas tidak terbantahkan secara yuridis formal siswa memang harus taat pada norma sekolah yang salah satu wujudnya patuh pada peraturan sekolah.
Bagi guru juga demikian. Mereka juga harus paham pada hak-hak siswa. Tidak ada salahnya memberikan sanksi asal harus sesuai prosedur yang ada yaitu sesuai yang ditetapkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
Memang sembilan langkah pencegahan di atas dapat dipandang sebagai usaha preventif. Namun usaha ini harus disadari lebih penting dari pada kuratif. Dalam pengertian sederhana, mencegah itu lebih baik dari mengobati.
Ingat ! Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan! Waspadalah ! Waspadalah !
Pengirim: Ilham Wahyu Hidayat, Guru SMP Negeri 11 Malang