Senin dan Selasa kemarin (12/07) Bareskrim Polri telah memeriksa mantan pemimpin organisasi filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) atas dugaan penyelewengan dana korban kecelakaan pesawat Boeing Max 737 tahun 2018.
Kepada wartawan, mantan Presiden ACT Ahyudin mengatakan dirinya tidak menerima komplain dari Boeing terkait kasus ini.
"Tidak ada juga Boeing komplain, belum ada pelaporan dari Boeing bahwa program ini bermasalah," katanya usai diperiksa Senin (11/07) malam.
ABC Indonesia kemudian berusaha menghubungi Boeing untuk meminta keterangan soal kasus yang menimpa ACT yang menyeret nama Boeing.
Oleh Boeing, ABC Indonesia diarahkan untuk berbicara kepada Feinberg Law Office, firma hukum yang ditunjuk Boeing untuk untuk merancang, menerapkan, dan mengelola prosedur distribusi dana kompensasi.
Camille Biros, pengelola dana dari Feinberg Law Office, mengatakan kepada wartawan ABC Indonesia, Natasya Salim, pihaknya mengetahui adanya pemeriksaan polisi terhadap ACT dari laporan media.
Menanggapi pernyataan Ahyudin yang menyebut tidak ada komplain dari Boeing, ia menegaskan bahwa dana korban kecelakaan CSR Boeing Max 737 tidak dikelola oleh Boeing.
"Boeing memperkerjakan Firma kami untuk mengurus proses administrasi Dana BCIF," katanya.
"
"Boeing tidak mengurusi administrasi dana tersebut."
"
Mekanisme pemberian dana
Lebih lanjut, Camille Biros juga menjelaskan mekanisme pemberian dana kompensasi korban.
"Boeing menggunakan jasa firma kami untuk mendesain, melakukan implementasi, dan mengelola pemberian dua macam dana.
Skema dana yang pertama sebesar $50 juta didistribusikan secara langsung kepada keluarga korban kecelakaan Boeing 737 Max, disebut juga dana BFAF.
Skema yang kedua yakni dana BCIF, juga sebesar $50 juta, didistribusikan ke organisasi amal yang memberikan dukungan filantropi kepada masyarakat lokal yang terkena dampak kecelakaan. Dana ini terpisah dari dana BFAF $50 juta yang disebutkan di atas.
"Dana BCIF ini didistribusikan di tahun 2020-2021 kepada organisasi amal yang memenuhi syarat dan telah dipilih oleh pihak keluarga," kata Camille.
"Organisasi amal ini menyediakan dukungan kemanusiaan pada komunitas yang terdampak dengan menyediakan makanan, air bersih, tempat tinggal, pakaian, pendidikan dan akses kesehatan."
Agar memenuhi syarat sebagai penerima Dana $50 juta BCIF, Camille mengatakan pihak organisasi amal yang dipilih keluarga harus mengisi formulir aplikasi program dan menyediakan bukti memenuhi syarat.
Organisasi yang telah dipilih ini nantinya harus membuat laporan akhir yang dikirimkan ke administrator atau pengelola dana setelah menyelesaikan berbagai program yang menggunakan dana tersebut.
Menurutnya, ACT merupakan salah satu dari 115 organisasi amal yang memenuhi syarat dan menerima sebagian dari total kompensasi sebesar $50 juta.
Camille menolak memberikan informasi jumlah dana yang diberikan pada masing-masing organisasi tersebut, termasuk jumlah konkret yang disalurkan ke ACT.
"Firma kami melakukan pembayaran dana kepada ACT dan instansi lainnya secara langsung antara tahun 2020 dan 2021," kata Camille.
Sementara menurut Mabes Polri, sebanyak 68 ahli waris korban kecelakaan Lion Air meminta ACT untuk mengelola dana tanggung jawab sosial korporasi atau CSR sebesar Rp138 miliar.
Kronologi penyelidikan dugaan penyelewengan dana ACT
Tiga hari setelah laporan Majalah Tempo berjudul "Aksi Cepat Tanggap Cuan" terbit 2 Juli lalu, polisi membuka penyelidikan terhadap dugaan penyelewengan dana umat oleh ACT.
Dari hasil analisis transaksi oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), muncul indikasi penyalahgunaan dana "transaksi yang menyimpang".
Dalam konferensi pers di Jakarta Senin (11/07), Bareskrim Polri menduga pihak ACT telah menilap dana korban kecelakaan Lion Air JT-610 tahun 2018 dalam bentuk CSR.
"Yayasan ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana CSR yang diterimanya dari pihak Boeing ke ahli waris korban," kata Kabag Penum Divhumas Polri Kombes Nurul Azizah.
"Dan diduga pihak yayasan ACT tidak merealisasikan seluruh dana CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua pengurus pembina serta staf pada yayasan ACT."
Polri juga menduga dana tersebut dipakai untuk mendukung kegiatan atau kepentingan pribadi mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar.
Keduanya diperiksa oleh polisi bersama dua orang pengurus ACT lainnya hari Senin dan Selasa (12/07) kemarin.
Mengutip Tempo, Kuasa Hukum Ahyudin, Teuku Pupun Zulkifli mengatakan program kerja yang dilakukan ACT dengan Boeing adalah dalam bentuk pembangunan fasilitas umum dari dana CSR ahli waris korban kecelakaan pesawat Boeing Max 737, Lion Air JT-610.
"Jadi programnya bukan uang yang diberikan kepada ahli waris itu," katanya.
"Program CSR Boeing yang dikerjasamakan dengan ACT itu dalam bentuk pengadaan fasum."
Dugaan aliran dana ke Al-Qaeda
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menduga aliran transaksi uang antara ACT dengan jaringan terorisme Al-Qaeda.
"Berdasarkan hasil kajian dari database yang PPATK miliki, ada yang terkait dengan pihak yang, masih diduga pernah ditangkap, menjadi salah satu dari 19 orang yang ditangkap oleh kepolisian di Turki karena terkait Al-Qaeda," ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavanda pekan lalu (06/07).
Saat ini PPATK telah menghentikan sementara transaksi pada setidaknya 300 rekening yang dimiliki ACT.
Densus 88 Antiteror Polri mengatakan sedang menyelidiki dugaan tersebut setelah menerima laporan dari PPATK.
"Densus 88 secara intensif sedang bekerja mendalami transaksi-transaksi tersebut," kata Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88, Komisaris Besar Aswin Siregar kepada wartawan, Kamis lalu (07/07).
Namun, kuasa hukum mantan Presiden ACT Ahyudin, Teuku Pupun Zulkifli, membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa bukti transfer aliran dana ke kelompok Al-Qaeda tidak benar adanya.
Ahyudin sendiri usai diperiksa untuk ketiga kalinya di Bareskrim Polri kemarin (12/07) mengaku siap menghadapi segala konsekuensi hukum, termasuk jika ditetapkan menjadi tersangka.
"Demi Allah, saya siap berkorban atau dikorbankan sekali pun, asal ACT sebagai sebuah lembaga kemanusiaan yang Insya Allah lebih besar manfaatnya untuk masyarakat luas, tetap bisa hadir, eksis, berkembang dengan sebaik-baiknya," ujar Ahyudin.