REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, fenomena perubahan iklim dan kerusakan lingkungan memicu terjadinya cuaca ekstrem di Indonesia. Cuaca ekstrem itu pada akhirnya dapat mengancam ketahanan pangan nasional.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, cuaca ekstrem itu berupa siklon tropis, banjir, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung, gelombang tinggi laut, dan lain sebagainya.
"Cuaca ekstrem yang intensitasnya semakin sering dan durasinya semakin panjang ini juga mengancam ketahanan pangan nasional," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat peringatan Hari Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Nasional (HMKGN) di Jakarta, Kamis (21/7).
Risiko krisis pangan akibat cuaca ekstrem tersebut, lanjut Dwikorita, semakin diperparah dengan kondisi pasca pandemi Covid-19 dan perang Rusia - Ukraina yang menganggu rantai pasok pangan dan energi global. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan menjalar ke berbagai persoalan lainnya, termasuk ekonomi dan politik.
Untuk menjaga ketahanan pangan nasional, kata dia, BMKG terus mendampingi para petani dan nelayan agar mampu memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Di sisi lain, Dwikorita juga mengajak semua pihak untuk melakukan aksi-aksi peduli lingkungan, mulai dari melakukan penghijauan masif, lebih memilih menggunakan transportasi publik, hingga mengurangi penggunaan energi fosil dengan cara beralih ke energi terbarukan.
"Kuncinya yaitu kita jaga alam kita.... Kita jaga laju kenaikan suhu udara di permukaan dan muka air laut agar menahan frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi," ujarnya.