REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan publik di media sosial disuguhkan aksi kriminalitas, yang menguatkan pelaku menggunakan jasa orang lain untuk melakukan aksi pembunuhan. Dalam Islam, apapun upaya pelaku pembunuhan baik melakukan sendiri atau menggunakan jasa orang lain, mereka akan diganjar hukuman dan dosa yang sama, yaitu qishash dan dosa besar.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan pembunuh dan otak atau dalang pembunuhan hukum dan hukumannya sama. Ini sama dengan analogi dengan pesuap dan penerima suap.
"Pembunuh dan otak pembunuhan sesuai ayat Alquran dan pendapat mayoritas ulama dihukum qishash. Akan tetapi, hukuman itu mungkin saja tidak diterapkan apabila keluarga korban memaafkan atau diganti dengan diyat sesuai dalam Quran surah Al-Baqarah [2]: 178," kata Abdul Mu'ti, Sabtu (23/7/2022).
Ia menegaskan aksi pembunuhan adalah perbuatan yang sangat dilarang di dalam Islam, dan juga mungkin di agama lain. Karena, jelas Mu'ti, Allah telah berfirman membunuh manusia yang tidak berdosa, bukan karena dia membunuh atau merusak alam semesta, sama halnya dengan membunuh seluruh umat manusia (Qs. al-Maidah [5]: 32).
Walaupun, ia memahami, di Indonesia tidak diterapkan hukum qisash, namun pembunuh terencana, pembunuh bayaran, dan otak pembunuhan dapat dipidana hukuman mati. Karena substansi qishash adalah pada hukuman yang setimpal atas kejahatan, bukan terletak pada caranya.
"Di negara-negara Arab dipancung kepala di depan umum, tempat terbuka. Di Indonesia, eksekusi hukuman mati dapat dilakukan dengan cara ditembak atau cara lain yang memungkinkan seseorang mati dengan cepat," ujarnya.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Zuhri mengungkapkan walaupun di dalam Alquran hukuman bagi pelaku pembunuhan adalah qishash, tidak lantas bermakna bahwa hal itu wajib dilakukan pada setiap terjadinya pembunuhan.
Sebagaimana sabda Rasulullah, "Barangsiapa dibunuh secara sengaja, maka hukuman bagi pelakunya adalah qishash, dan barangsiapa menjadi penghalang dari pelaksanaan qishash, maka baginya laknat Allah, malaikat-Nya dan manusia semuanya. Tidak diterima darinya taubat dan tidak pula tebusan." (HR al-Nasa`i dan Abu Daud).
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa semestinya pelaksanaan qishas dilakukan oleh penguasa/pemerintah yang sah. Namun Allah juga mengingatkan agar tidak melampaui batas dalam melaksanakannya. Karena itu perlu kehati-hatian dan sikap profesionalitas dalam melihat setiap unsur aspek hukum.
Dalam Alquran, Allah juga memberi pilihan pihak keluarga korban sebagai waliyuddam untuk memilih alternatif antara memaafkan, menerima Diyat/ganti rugi atau menuntut balas dengan qishash. Namun ini berarti bukan memudahkan hukuman qishash dengan mengganti dengan Diyat. Karena Allah menegaskan di dalam qishash itu ada keutamaan dijadikan pembelajaran kehidupan.
Di sini terlihat agama Islam tidak memaksakan pemaafan untuk kasus pembunuhan disengaja. Karena pemaksaan pemaafan akan dapat berdampak buruk, baik kepada keluarga korban atau kepada pihak keluarga pelaku pembunuhan. Namun jika keluarga korban menginginkan pemaafan dengan pertimbangan apapun, maka hal itu dapat dibenarkan, bahkan merupakan sikap yang terpuji.