REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sosiolog perkotaan Universitas Negeri Jakarta Dr Yuanita Aprilandini menilai fenomena Citayam Fashion Week (CFW) dengan dua perspektif. Pertama, CFW dilihat sebagai bagian dari popular culture karena dianggap representasi budaya remaja yang saat ini sedang digemari oleh banyak ruang. CFW merupakan ruang ekspresi kebebasan, ruang kreativitas, dan seni jalanan untuk kategori style and fashion.
"Konsepsi Dukuh Atas yang mengambil rujukan dari Harujuku dengan plesetan Haradukuh. Jika dikembangkan lagi, bisa tidak sekadar fashion, tetapi mengangkat kuliner lokal, budaya lokal. Sehingga konsepnya menjadi lebih ke festival dibandingkan hanya fashion," kata Yuanita dalam diskusi publik Menilik Bingkai Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dalam Fenomena CFW yang diadakan oleh Megawati Institute, Rabu (27/7/2022).
Namun, selain bisa menjadi festival, fenomena CFW juga bisa dilihat menjadi gerakan perlawanan orang piggiran. Yakni, remaja Citayam yang selama ini dianggap marginal dan berasal dari kelas ekonomi bawah. Mereka berusaha merebut perhatian di dalam ruang publik perkotaan.
"Perlawanan ini membuahkan hasil yang memutarbalikkan stereotipe bahwa "Orang pinggiran tidak mempunyai fashion style" menjadi "Semakin gembel dan awut-awutan semakin viral","ujarnya.
Yuanita menyimpulkan, jika berkaca pada dua entitas tersebut, maka CFW di area Dukuh Atas dapat dibentuk menjadi bagian dari popular culture dengan perluasan yang tidak hanya mengangkat fashion semata.
"CFW bisa dipeluas mengangkat unsur kuliner dan kebudayaan lokal. Di sisi lain, CFW bisa tumbuh menjadi ruang demokrasi bagi kelompok minoritas tertindas guna menyuarakan hak-haknya," tambahnya.