Senin 01 Aug 2022 08:53 WIB

Sudan Laporkan Kasus Cacar Monyet Pertama

Seorang siswa berusia 16 tahun di Sudan terkonfirmasi terinfeksi cacar monyet

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Sudan melaporkan kasus pertama cacar monyet
Foto: www.freepik.com
Sudan melaporkan kasus pertama cacar monyet

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sudan melaporkan kasus pertama cacar monyet. Kasus ini dilaporkan Kementerian Kesehatan Sudan pada Ahad (31/7/2022) malam waktu setempat.

Seorang siswa berusia 16 tahun terkonfirmasi terinfeksi penyakit itu di Negara Bagian Darfur Barat. Pengumuman ini disampaikan melalui laman Facebook Kementerian Kesehatan Sudan.

Baca Juga

Pekan lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, lebih dari 18 ribu kasus monkeypox atau cacar monyet sudah ditemukan di 78 negara. Tingkat penyebaran atau infeksi tertinggi terjadi di Eropa, yakni melampaui 70 persen. Sementara di Amerika sebesar 25 persen.

Dari keseluruhan kasus yang dikonfirmasi, lima pasien telah meninggal akibat penyakit tersebut. Sedangkan sekitar 10 persen dari total kasus memerlukan rawat inap untuk mengatasi gejala dan rasa sakit yang ditimbulkan cacar monyet.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, saat ini 98 persen kasus cacar monyet di dunia dialami laki-laki pelaku homoseksual. Namun, dia mengingatkan bahwa penyakit tersebut bisa menginfeksi siapa saja.

“Itulah sebabnya WHO merekomendasikan agar negara-negara mengambil tindakan untuk mengurangi risiko penularan ke kelompok rentan lainnya, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan mereka yang mengalami imunosupresi,” ucap Tedros, Rabu (27/7/2022).

Tedros menjelaskan, selain penularan melalui aktivitas seksual, cacar monyet juga dapat menyebar di rumah tangga melalui kontak dekat antar-manusia. Misalnya, berpelukan dan berciuman, serta handuk atau tempat tidur yang terkontaminasi.

“Ini adalah wabah yang dapat dihentikan jika negara, komunitas, dan individu menginformasikan diri mereka sendiri, merespons risiko dengan serius, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghentikan penularan dan melindungi kelompok rentan,” katanya.

Dia memperingatkan, stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terinfeksi sama berbahayanya dengan virus apa pun.

“Seperti yang telah kita lihat dengan Covid-19, informasi yang salah dan disinformasi dapat menyebar dengan cepat secara daring. Jadi kami meminta platform media sosial, perusahaan teknologi, serta organisasi berita untuk bekerja sama dengan kami untuk mencegah dan melawan informasi berbahaya,” kata Tedros.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement