Rabu 10 Aug 2022 17:33 WIB

Suhu Laut Menghangat Berdampak pada Nelayan Perempuan Fiji

Suhu yang lebih hangat mengganggu pertumbuhan rumput laut.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Seorang pekerja menjemur hasil panen rumput laut di Desa Tadui, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (19/8/2020). Suhu yang lebih hangat mengganggu pertumbuhan rumput laut.
Foto: Antara/Akbar Tado
Seorang pekerja menjemur hasil panen rumput laut di Desa Tadui, Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (19/8/2020). Suhu yang lebih hangat mengganggu pertumbuhan rumput laut.

REPUBLIKA.CO.ID, SUVA -- Karen Vusisa telah berjuang untuk menemukan rumput laut atau dikenal dengan nama yang menjadi favorit olahan hidangan dari Fiji. Pemanasan suhu laut memicu kekhawatiran panen dan mengancam mata pencaharian para nelayan perempuan sepertinya.

Seperti banyak orang lain, perempuan berusia 52 tahun hanya berhasil mengumpulkan sekitar setengah dari jumlah panen dulu. Dia harus berburu di wilayah yang lebih luas, menghabiskan lebih banyak waktu di laut.

Baca Juga

"Kami berjuang untuk menemukan beberapa tempat untuk banyak nama," kata nelayan Fiji lainnya, Sera Baleisasa.

Nama yang kebanyakan ditemukan di perairan Fiji ini menyerupai buah anggur hijau kecil. Ini adalah bagian dari makanan sehari-hari negara kepulauan Pasifik dan biasanya disajikan dengan direndam dalam santan dan ditambahkan ke salad.

Rumput laut ini juga penting untuk mata pencaharian ratusan nelayan perempuan. Mereka bisa menghasilkan sekitar 10 hingga 20 dolar AS untuk 10 kg nama yang dikumpulkan.

Saat memanen, para nelayan perempuan akan membiarkan akar rumput laut tetap utuh untuk membantu bertumbuh kembali, kemudian mereka melanjutkan untuk mengumpulkan di petak yang diregenerasi. Namun selama beberapa tahun terakhir, nama membutuhkan waktu lebih lama untuk tumbuh kembali.

Ahli biologi kelautan Alani Tuivucilevu menyalahkan lautan yang lebih hangat karena mengganggu pertumbuhan nama. "Sangat sensitif terhadap panas," ujarnya merujuk kepada rumput laut itu.

"Ini menyedihkan, sungguh, ini menyedihkan, karena ini telah menjadi cara hidup mereka. Menipisnya persediaan nama berarti mengikis cara hidup dan, sampai tingkat tertentu, budaya dan tradisi," kata Tuivucilevu yang bekerja dengan kelompok penelitian Women in Fisheries Network Fiji.

Laporan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat menunjukkan, pada 2021 adalah tahun terpanas untuk lautan di dunia sejak pencatatan dimulai pada akhir 1800-an. Ilmuwan iklim telah memperingatkan bahwa negara-negara kepulauan Pasifik lebih rentan terhadap perubahan iklim karena ketergantungan pada sumber daya laut. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement