REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro, politik identitas yang destruktif dan politisasi agama merupakan bahaya yang perlu diwaspadai bersama, terutama menjelang momentum politik. Sebab, politik identitas dan politisasi agama dapat menjadi akselerator bagi rontoknya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horizontal berkepanjangan.
"Politik identitas dan agama yang dipolitisir adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat," ujar Juri, dikutip dari siaran pers KSP pada Rabu (17/8/2022).
Dalam pidato kenegaraan di hadapan MPR, DPR, dan DPD, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan agar tak ada lagi politik identitas, politisasi agama, dan polarisasi sosial pada Pemilu 2024. Menurut Juri, pesan presiden tersebut berangkat dari situasi dan kondisi kontestasi politik belakangan ini, baik pemilu maupun pilkada yang cenderung memecah belah bangsa, bahkan merusak sendi-sendi kebangsaan.
“Kompetisi politik tidak seharusnya menghalalkan segala cara yang destruktif,” kata dia.
Juri menambahkan, politik yang dibungkus agama selalu menjadi komoditas favorit untuk diperdagangkan menjelang pemilu seperti saat ini. Agama selalu dijadikan justifikasi untuk meraih tujuan politik dengan menjajakan politik identitas dan menggoreng agama sebagai komoditas.
“Kepada siapa pesan itu diberikan? Kepada semua pihak, baik para elite politik maupun masyarakat umum. Keterbelahan politik di masyarakat adalah akibat perilaku politik para elite dalam berbagai level yang tidak sadar betapa berbahayanya politisasi agama dan politik identitas,” ujarnya.