Jumat 19 Aug 2022 09:37 WIB

Syair-Syair Perjuangan Habib Idrus bin Salim Aljufri dan Kontribusinya untuk Bangsa

Atas jasa-jasanya, Habib Idrus bin Salim Aljufri diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Syair-Syair Perjuangan Habib Idrus bin Salim Aljufri dan Kontribusinya untuk Bangsa. Foto: Jamaah membawa foto Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua saat mengikuti puncak peringatan Haul Guru Tua di Kompleks Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/5/2022). Puluhan ribu jamaah atau Abnaulkhairaat dari berbagai daerah di Indonesia hadir pada puncak peringatan Haul ke-54 Sayyid Idrus bin Salim Aljufri pendiri Alkhairaat sekaligus tokoh penyebaran agama Islam di Sulawesi Tengah dan Kawasan Timur Indonesia tersebut.
Foto: ANTARA/Mohamad Hamzah
Syair-Syair Perjuangan Habib Idrus bin Salim Aljufri dan Kontribusinya untuk Bangsa. Foto: Jamaah membawa foto Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua saat mengikuti puncak peringatan Haul Guru Tua di Kompleks Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/5/2022). Puluhan ribu jamaah atau Abnaulkhairaat dari berbagai daerah di Indonesia hadir pada puncak peringatan Haul ke-54 Sayyid Idrus bin Salim Aljufri pendiri Alkhairaat sekaligus tokoh penyebaran agama Islam di Sulawesi Tengah dan Kawasan Timur Indonesia tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID,PALU -- Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (SIS Aljufri) atau yang lebih akrab disapa Guru Tua merupakan seorang ulama besar yang mendirikan Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah pada awal 1930. Tidak hanya berkiprah dalam dunia pendidikan Islam, namun SIS Aljufri juga seorang pejuang yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada para santrinya.

Dikutip dari hasil riset Tim Peneliti Universitas Alkhairaat berjudul Dampak Gerakan Perjuangan SIS Aljufri dan Kontribusinya, salah satu contohnya adalah saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda pada akhir tahun 30-an. Untuk membangkitkan semangat juang siswa-siswi dan rasa nasionalisme untuk melawan kesewenangan kolonial belanda SIS Aljufri menciptakan sebuah syair yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya. 

Baca Juga

Teks syair tersebut yakni:

نَحْنُ الشَّبَابُ.

نَحْنُ الشَّبَابُ لَنَا الْغَدُّ وَمَجْدُ نَا الْمُخَلَّدُ نَحْنُ الشَّبَابُ

 بِالْعِلْمِ وَالْفَضَائِلِ وَالْنُّبَلِ فِي الشَّمَائِلِ

نَحْنُ طَلَائِعُ الْوَطَنْ نَحْنُ بَشَائِرُ الزَّمَنْ

هَيَّا بِنَا هَيَّا بِنَا نَحْمِيْ بِهَا اَوْطَانَنَا

فَاالْمَجْدُ فِي كِفَا حِنَا وَالْعِزُّ

فِي نِضَالِنَا نَحْنُ الشَّبَآبْ

Kami adalah Pemuda

Kami adalah angkatan muda, pemimpin masa depan

Dengan ilmu dan akhlak serta perilaku yang mulia

Kami akan bangun bangsa dan negara

Kami adalah pengawal tanah air

Dan harapan masa depan bangsa

Mari bersama-sama kita bangun negara

Dan bela tanah air, dengan iptek dan iptak (imu pengetahuan dan Iman Taqwa)

Kejayaan dan kemuliaan akan terwujud

Hanya dengan perjuangan

Yang diperoleh oleh angkatan muda.

photo
Habib Sayid Idrus bin Salim al-Jufri atau Guru Tua. - (Blogspot.com)

 

Dampak dari penanaman nasionalisme dan perjuanhan itu, pada 1938 pihak Belanda menuduh Ustadz Abdussamad, murid SIS ALJUFRI, Kepala madrasah Alkhairaat Cabang Dondo Ampana (sekarang Kabupaten Tojo Unauna), bersama tujuh orang temannya. Mereka ditangkap karena menggerakkan dan menggalang kekuatan masyarakat Dondo untuk mengusir Belanda di wilayah tersebut. 

Abdussamad bersama tujuh orang temannya itu, ditembak secara keji oleh tentara Belanda dan ditenggelamkan di Pelabuhan Poso kemudian dibuang di Tanjung Putiah (antara Tojo dan Poso) Teluk Tomini. Selain itu, pada Desember 1939, Ustadz M.S. Patimbang, murid SIS ALJUFRI, yang bertugas mengajar pada madrasah Alkhairaat Luwuk (Kabupaten Banggai), dituduh dan ditangkap oleh Belanda karena mengadakan rapat di dalam Masjid Kampung Soho (Luwuk) untuk melawan Belanda. M.S.Patimbang dihukum, dan Masjid dilarang digunakan untuk shalat Jum’at.

Pada tahun 1939, penjajah Belanda bermaksud menyita gedung Alkhairaat yang bermarkas di Palu, setelah pecahnya pemberontakan Salumpaga di Tolitoli. Saat itu terdapat tuduhan beberapa murid Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (SIS ALJUFRI) terlibat dalam pemberontakan tersebut.

Ketidakpercayaan pejabat kolonial memuncak ketika menemukan laporan beberapa santri dan guru-guru Alkhairaat telah mengambil bagian dalam jabatan SI (Serikat Islam) yang berujung pada tertangkapnya salah satu murid SIS Aljufri, M.S.Patimbang dalam pertemuan penyamaran SI di Luwuk, Sulawesi Tengah. Kolonial Belanda menyebutnya ‚pertemuan bawah tanah‛ pada tahun 1939 di kampung Soho-Luwuk, selain menangkap MS Patimbang, Belanda juga melarang warga kampung menggunakan masjid sebagai pusat aktifitas ‚anti kolonial‛.

Di masa penjajahan Jepang pada tahun 40-an,  semua sekolah agama di tutup. Pemerintahan Jepang sangat mengkhawatirkan kalau melalui pendidikan agama propaganda anti Jepang dilancarkan. Sejak awal pendudukan Jepang, gedung sekolah Alkhairaat ditutup, SIS ALJUFRI bersama guru-guru dan murid-muridnya menyingkir ke luar kota palu ke desa Pewunu – Kaleke.

Di Pewunu ini SIS ALJUFRI bertemu dengan Yoto Daeng Pawindu yang merupakan ipar saudara dari isteri SIS ALJUFRI yang bernama intje Ami. Yoto Daeng Pawindu seorang tokoh pergerakan nasional dari PNI, di rumah Yoto Daeng Pawindu inilah menjadi sekolah darurat bagi murid-murid Alkhairaat kira-kira 70 orang bersama keluarga SIS ALJUFRI.

SIS Aljufri melihat penderitaan bangsa Indonesia terjadi di setiap daerah, murid-muridnya  ditangkap dan disiksa kemudian dibunuh oleh Jepang. Kondisi ini ternyata tidak menyurutkan kebenciannya terhadap Jepang, justru semakin memperkuat daya spiritualitasnya sehingga SIS Aljufri bersumpah tak mau melihat orang Jepang lagi.

Bahkan, beliau berdoa, “Aku tidak ingin melihat bangsaku dijajah fisiknya, ditekan jiwanya dan dicabut kemerdekaannya oleh Jepang”. 

Munajat yang bernada protes terhadap kolonial Jepang ini, dikabulkan oleh Tuhan, kedua mata beliau menjadi buta. Namun ada hikmah, karena SIS Aljufri buta, penjajah tidak lagi mencurigainya, seluruh aktivitas dakwah dan pendidikan yang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, luput dari pantauan Jepang.

Kelompok revolusioner yang paling penting di Sulawesi Tengah adalah “Gerilya Kilat”, yang di dalamnya terlibat sejumlah pemimpin dan santri Alkhairaat, seperti Bachrain Thayeb, Hasbullah, dan Asnawi.

Itulah sebabnya, SIS Aljufri kembali membuat syair berjudul Bendera Merah Putih. Selain sebagai  bentuk apresiasi terhadap lambang negara Indonesia juga merupakan pernyataan nasionalisme SIS Aljufri.

Syair SIS ALJUFRI yang membangkitkan semangat dan mempengaruhi perjuangan kemerdekaan kepada murid-muridnya dan masyarakat Indonesia Timur yakni:

رَايَــةُ الْـعِــزِّ رَفْــرِفــِي فـِي سَـمَـاءٍ  

*

اَرْضُـــهَــا وَجِـبَـالُـــهَـا خَــضْـــرَاءُ

اِنَّ يَــوْمَ طُـلُـوْعِـــهَـــا يَــوْمُ فَــخْـرٍ

*

عَــظَّــمَــتْــهُ اْلآبــــَاءُ وَالْأَبْـــــــنَــــاءُ

كُـــلَّ عَــامٍ يَــكُـوْنُ لِلْـيَـوْمِ ذِكْـرى  

*

يَـظْـهَـرُ الشُّكْـرُ مِـنـْهُـمْ وَالثَّـنَــاءُ

لِـلْإِلٰــهِ الْــكَـرِيــْمِ يَـدْعُـوْنَ جَـهْــرًا  

*

حَـيْثُ نَالُوْا الْمُنَى وَزَالَ الْعَـنَـاءُ

كــُلُّ أُمَّـــــةٍ لَـــهَـــا رَمْـــــزُ عِـــــزٍّ  

*

وَرَمْـزُ عِـزِّنـا الـْحَمْرَاءُ وَالْبَيْضَاءُ

يـَا سُوْكَرْنُو حُيِّـيْـتَ فِيْنَا سَعِـيْـدًا  

*

بِالدَّوَاءِ مِـنْكَ زَالَ عَــنـَّا وَالــــدَّاءُ

اَيُّــهَـــا الرَّئِـيْــسُ الْمُــبَــارَكُ فِـــيْــنَــا  

*

عِـنْـدَكَ الْيَـوْمِ لِـلْـوَرَى الْـكـِمْيَاءُ

بـِالْـيـَـــرَاعِ وَ بِـالـسِّـيَـاسَةِ فُـقْـتُـم  

*

وَنَــصـَرْتـُمْ بِــذَا جَــاءَتِ اْلأَنْــبَــاءُ

لَا تُــبَـــالُــوْا بِــأَنْــفُـــسٍ وَبَـــــنِـيــْنٍ  

*

فـِيْ سَـبِـِيْلِ الْأَوْطَانِ نِعْمَ الْفِدَاءُ

خُذْ اِلَى الْأَمَـامِ لِـلْمـَعَـالـِي بِاَيْدِي  

*

سَـبْعـِيْنَ مِلْيُـوْنًا أَنْـتَ وَزُعَـمـَاءُ

فَـسَـتَـلْـقـَى مِـنَ الـرِّعَــايَا قَـبُولاً  

*

وَسَـمَـاعًـا لِـمَـا تَـقُـوْلُـهُ الرُّؤَسَاءُ

وَاعْـمـُرُوْا فِي الْبِلَادِ حِسًّا وَمَعْنًى

*

وَ بَـرْهِـنُـوْا لِـلْـمَـلَا اَنَّـكُـمْ أَكْـفَاءُ

أَيَّــدَ اللهُ مُـلْـــكَــــكُــمْ وَكَـــــفَـاكـُمْ  

*

كُـلَّ شَــرٍّ تَــحُــوْكُــهُ الْأَعْــــدَاءُ11

Artinya:

“Berkibarlah bendera kemulian di angkasa-Daratan dan gunung-gunungnya yang menghijau”

“Sungguh hari kebangkitannya adalah hari kebanggaan–orang-orang tua dan anak-anak memuliakannya”

“Tiap tahun hari itu menjadi peringatan–muncul rasa syukur dan puji-pujian padanya”

Dengan lantang Mereka  berdo,a kepada Tuhan Yang Maha Mulia–Karena cita-cita telah tercapai dan hilanglah segala masalah

“Tiap bangsa memiliki symbol kemuliaan–dan symbol kemuliaan kami adalah merah dan putih”

“Wahai Sukarno! Engkau telah jadikan hidup kami bahagia–dengan obatmu telah hilang penyakit kami…”.

“Wahai presiden yang penuh berkah untuk kami–Hari ini engkau laksana kimia bagi masyarakat. 

“Engkau ungguli dengan tulisan dan politikmu–hingga datang berita akan kemenangan.

“Tidak peduli jiwa dan keturunan mereka korbankan-demi tanah air. Alangkah indah penebusan itu.  

“Tampillah dengan bergandengan tangan menuju kemuliaan–Tujuh puluh juta rakyat dan para pemimpin akan bersamamu

“Pasti kau dapati kepercayaan dari rakyat–mereka akan patuh akan ucapan para pemimpin.

“Makmurkanlah Negeri ini (Indonesia) dengan pembangunan mental dan spiritual–buktikan pada rakyat akan kemampuanmu

“Semoga Allah senantiasa membantu kekuasaanmu dan mencegahmu-dari semua kejahatan yang dirancang para musuh."

Syair inilah yang di sampaikan SIS jufri kepada segenap murid-muridnya dan masyarakat di Indonesia Timur untuk membangkitkan semangat juang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda maupun Jepang.

Pengakuan

Semasa hidupnya, SIS Aljufri juga memberikan kontribusi nyata yang sampai saat ini dapat dilihat bukti-bukti perjuangan yang dirintis oleh SIS Aljufri sejak tahun 1930 hingga tahun 1945 lamanya sebelum bangsa ini merdeka. SIS Aljufri benar-benar memposisikan Madrasah Alkhairaat sebagai salah satu wadah pencerdasan bangsa untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia.

Selama dekade 1930-1969 perjuangan  SIS Aljufri bersama Alkhairaat, telah berdiri lebih dari 400 cabang sekolah di seluruh pelosok Indonesia Timur. Sampai saat ini, tercatat lembaga pendidikan Alkhairaat dalam data Pengurus Besar Alkhairaat  berjumlah 1.653 secara keseluruhan dari berbagai tingkatan sekolah sampai dengan perguruan tinggi.

Pemerintah pun menghargai jasa-jasa SIS Aljufri dalam perjuangannya. Pada 2010,  pemerintah melalui petikan Keputusan Presiden Nomor: 53/TK/Tahun 2010 menganugrahkan tanda kehormatan “Bintang Mahaputera” ADIPRADANA.

Selain itu,  Pemerintah Pusat juga menyetujui perubahan nama Bandar Udara Mutiara dengan menambahkan nama SIS ALJUFRI berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KP 178 Tahun 2014. Dalam diktum surat keputusan itu menimbang bahwa Sayyid Idrus bin Salim Aljufri merupakan tokoh pejuang provinsi Sulawesi Tengah di bidang pendidikan khususnya pendidikan agama dan untuk mengenang jasa almarhum maka sudah sepantasnya nama bandara tersebut di abadikan untuk mengenang jasa perjuangannya.

Pada awal tahun ini pun,  Pemerintah Kota Palu telah mengeluarkan surat rekomendasi tentang usulan gelar pahlawan Nasional kepada SIS Aljufri.

Surat rekomendasi terkait gelar pahlawan nasional untuk Guru Tua ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai dukungan pemerintah setempat.

Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura pun mendukung penuh rencana pengajuan usul penetapan Pendiri Alkhairaat Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua sebagai pahlawan nasional.

"Sebagai Gubernur, saya mendukung penuh untuk mengusulkan Guru Tua sebagai pahlawan nasional," kata Rusdy Mastura pada acara puncak haul ke-54 tahun Guru Tua di Kompleks Alkhairaat di Kota Palu pada Mei lalu.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement