REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Komunitas gay Singapura pada Senin (22/8/2022) menyambut gembira keputusan pemerintah yang menghapus diskriminasi hubungan seksual sesama jenis, dan membuka jalan untuk melegalkan LGBTQ. Mereka menggambarkan langkah ini sebagai "kemenangan cinta atas rasa takut".
Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong mengumumkan sebuah langkah mengejutkan dalam pidatonya di Hari Nasional pada Ahad (21/8/2022) lalu. Dalam pidatonya, Lee mengatakan, pemerintah akan mencabut Pasal 377A dari KUHP, yaitu sebuah undang-undang era kolonial yang melarang hubungan seksual sesama laki-laki. Mereka yang terjerat pasal ini dapat dihukum hingga dua tahun penjara.
Upaya untuk menghapus Pasal 377A telah menjadi perdebatan di parlemen sejak 2007. Lee mengatakan, alasan pemerintah mencabut pasal tersebut karena norma-norma sosial telah banyak berubah. Selain itu, sebagian besar warga Singapura saat ini telah menerima dekriminalisasi.
Lee menjelaskan, pencabutan akan berlaku terbatas dan tidak mengganggu nilai-nilai keluarga tradisional Singapura, serta norma-norma sosial. Termasuk bagaimana pernikahan didefinisikan, apa yang diajarkan anak-anak di sekolah, apa yang ditampilkan di televisi dan perilaku masyarakat umum. Namun Lee tidak mengungkapkan kapan pencabutan atau perubahan konstitusi akan berlaku.
"Pemerintah akan mengamandemen konstitusi untuk menjaga institusi pernikahan, dan mencegah tantangan konstitusional untuk mengizinkan penyatuan sesama jenis," ujar Lee.
Pada Februari, pengadilan tertinggi Singapura telah memutuskan, jika undang-undang tersebut tidak ditegakkan maka tidak melanggar hak konstitusional. Pengadilan menegaskan kembali bahwa, undang-undang tersebut tidak dapat digunakan untuk menuntut laki-laki karena melakukan hubungan seksual sesama jenis.
"Beberapa kelompok agama termasuk Muslim, Katolik dan beberapa Protestan terus menolak setiap pencabutan undang-undang tersebut," kata Lee.
Lee menekankan bahwa, pemerintah terus memberikan dukungan berkelanjutan untuk definisi tradisional pernikahan. Dia mengatakan, Singapura akan melindungi definisi pernikahan agar tidak ditentang secara konstitusional di pengadilan.
"Kami percaya bahwa pernikahan harus antara seorang pria dan seorang wanita, bahwa anak-anak harus dibesarkan dalam keluarga seperti itu, bahwa keluarga tradisional harus membentuk blok bangunan dasar masyarakat. Ini akan membantu kami mencabut Pasal 377A dengan cara yang terkendali dan dipertimbangkan dengan cermat," ujar Lee.
Lebih dari 20 kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender mengatakan, pencabutan itu sudah lama tertunda. Keputusan yang diambil pemerintah ini menunjukkan bahwa, diskriminasi yang didukung negara tidak memiliki tempat di Singapura. Mereka menyebutnya sebagai “kemenangan yang diraih dengan susah payah, kemenangan cinta atas ketakutan”. Namun, kelompok-kelompok tersebut mengatakan, pencabutan pasal itu adalah langkah pertama dari jalan panjang menuju kesetaraan penuh bagi orang-orang LGBTQ di tengah diskriminasi yang mereka hadapi.
"Untuk semua orang yang pernah mengalami jenis intimidasi, penolakan, dan pelecehan yang dimungkinkan oleh undang-undang ini, pencabutan akhirnya memungkinkan kami untuk memulai proses penyembuhan. Bagi mereka yang mendambakan Singapura yang lebih setara dan inklusif, pencabutan menandakan bahwa perubahan memang mungkin terjadi," kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Kelompok LGBTQ mendesak pemerintah untuk tidak mengindahkan seruan dari kaum konservatif agama untuk mengabadikan definisi pernikahan dalam konstitusi. Mereka mengatakan, langkah ini akan menandakan bahwa warga LGBTQ tidak setara.
"Keputusan seperti itu akan merusak karakter sekuler konstitusi kita, mengkodifikasikan diskriminasi lebih lanjut ke dalam hukum tertinggi dan mengikat tangan Parlemen masa depan,” ujar pernyataan komunitas LGBTQ.
Kelompok Kristen dan Muslim mengatakan, pernikahan heteroseksual harus dilindungi dalam konstitusi sebelum Pasal 377A dicabut. Mereka menegaskan tidak boleh ada liberalisasi kebijakan lebih lanjut.
"Kami mencari jaminan pemerintah bahwa kebebasan beragama gereja akan dilindungi karena kami terus melawan pembentukan undang-undang yang mendukung hubungan seksual sesama jenis dan menyoroti tindakan semacam itu," kata Dewan Gereja Nasional dalam sebuah pernyataan.
Dewan Gereja Nasional menambahkan, pendeta dan pekerja gereja harus dilindungi dari tuduhan ujaran kebencian dan tidak dipaksa untuk mengadopsi strategi yang mendukung LGBTQ dalam konseling mereka. Dewan menyatakan keprihatinan terkait langkah pemerintah yang mencabut Pasal 377A. Menurut mereka, pencabutan ini menyebabkan budaya LGBTQ berkembang. Dewam Gereja menyerukan ada kompensasi bagi orang-orang Kristen yang menghadapi “diskriminasi terbalik.”
Keuskupan Agung Katolik Roma Singapura mengatakan, gereja tidak berusaha untuk mengkriminalisasi komunitas LGBQT tetapi untuk melindungi keluarga dan pernikahan. Sementara Aliansi Gereja Pantekosta dan Karismatik Singapura, yang mewakili lebih dari 80 gereja lokal, menyesalkan keputusan pemerintah yang membuka jalan menuju legalisasi LGBTQ.
"Keputusan untuk menghapus Pasal 377A berarti merayakan homoseksualitas sebagai karakteristik lingkungan sosial arus utama," kata pernyataan Aliansi Gereja Pantekosta dan Karismatik Singapura.
Pemimpin Islam terkemuka Singapura, Mufti Nazirudin Mohd Nasir, mengatakan, langkah-langkah untuk melestarikan nilai-nilai tradisional sangat penting. "Saat kita berpegang pada nilai, aspirasi, dan orientasi yang berbeda, saya tidak berpikir kita harus membiarkan kebencian dan penghinaan atas perbedaan menang,” katanya kepada Channel News Asia.