Kamis 01 Sep 2022 23:24 WIB

Soal Isu Kenaikan BBM, Faisal Basri Bahas Soal Kebijakan Subsidi

Banyak sumur minyak sudah amat tua sehingga produksinya menurun.

Polisi melakukan inspeksi mendadak (sidak) transaksi penjualan BBM Subsidi di SPBU Manahan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (1/9/2022). Sidak yang digelar di sejumlah SPBU di Kota Solo tersebut untuk memastikan ketersediaan BBM dan mengawasi transaksi penjualan BBM bersubsidi di masyarakat.
Foto: ANTARA/Maulana Surya
Polisi melakukan inspeksi mendadak (sidak) transaksi penjualan BBM Subsidi di SPBU Manahan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (1/9/2022). Sidak yang digelar di sejumlah SPBU di Kota Solo tersebut untuk memastikan ketersediaan BBM dan mengawasi transaksi penjualan BBM bersubsidi di masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Faisal Basri menilai, banyak hal yang perlu disoroti dari kebijakan subsidi BBM. Faisal mengeklaim, subsidi semakin banyak dinikmati seiring peningkatan penghasilan. “Untuk pertalite, 70 persen dipakai mobil. Dari 70 persen itu, 98 persen mobil pribadi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (1/9/2022).

Ada pun dari 30 persen sepeda motor pengonsumsi pertalite, 90 persen merupakan kendaraan pribadi. Di luar cakupan itu, kata dia, pertalite dikonsumsi kendaraan angkutan umum atau angkutan daring.

Baca Juga

Harga pertalite saat ini masih disubsidi, meski pemerintah tidak menyebutnya secara spesifik. Anggaran subsidi diletakkan di berbagai pos APBN hingga anggaran BUMN.

Pernyataan Faisal selaras dengan temuan sejumlah penelitian yang menunjukkan hingga 80 persen subsidi BBM dinikmati orang mampu. Bila mengacu pernyataan Kementerian Keuangan bahwa subsidi BBM mencapai Rp 502 triliun per tahun, maka orang kaya Indonesia menhabiskan Rp 400 triliun subsidi BBM.

Anggota DPR RI Adian Napitupulu mengungkapkan, paling tidak Rp 56 triliun subsidi BBM dinikmati perkebunan sawit. Bahkan, kata dia, nilainya bisa mendekati Rp 147 triliun per tahun.

Faisal menyebut, pola itu mengungkap ketidakadilan serius dan jelas sangat merugikan masyarakat miskin. Fakta itu mematahkan pendapat bahwa subsidi BBM harus diberikan sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin.

Jika pemerintah serius membantu masyarakat miskin, kata dia, lebih baik mengalihkan subsidi ke pola lain. Pola itu harus tetap sasaran dan benar-benar diterima masyarakat miskin.

Faisal juga mengingatkan, Indonesia bukan negara kaya minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghabiskan miliaran dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak. Itu karena, produksi minyak di bawah kebutuhan nasional.

Indonesia memang pernah mengalami periode ekspor migas lebih tinggi dibandingkan impornya. Namun, Indonesia berhenti mengalami surplus perdagangan migas dan energi sejak 2007. “Sejak 2013 malah sudah defisit perdagangan minyak,” kata dia.

Dalam sembilan tahun terakhir, Indonesia mengimpor minyak lebih banyak dibandingkan ekspornya. Pada 2019, defisitnya mencapai 59,1 juta barel. Jika dihitung dalam nilai uang, Indonesia menanggung defisit 8 miliar dollar AS pada 2018-2019 saja. Nilai itu setara lima persen APBN Indonesia saat ini. Dalam 20 tahun ke depan, defisit itu akan membesar dan mencapai 40 miliar dollar AS pada 2040. 

Faisal mengatakan, kondisi industri migas dalam negeri memang menyulitkan untuk memacu produksi. Banyak sumur minyak sudah amat tua sehingga produksinya menurun. Ada pun gas Indonesia mengandung banyak metana sehingga lebih cocok dijadikan LNG. 

"Padahal, Indonesia membutuhkan LPG yang bahan dasarnya gas alam dengan kandungan mayoritas propana," kata dia.

Baca juga : Dulu PDIP Tangisi Kenaikan Harga BBM, Sekarang Bisa Pahami Situasi Sulit Era Jokowi

Dilansir dari Antara, Presiden Jokowi mengatakan Pemerintah masih menghitung dengan hati-hati harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, khususnya jenis solar dan pertalite.

"BBM semuanya masih pada proses dihitung, dikalkulasi dengan hati-hati," kata Presiden saat ditemui seusai peluncuran teknologi "5G Smart Mining" di wilayah Tambang Grasberg, Mimika, Papua, Kamis (1/9/2022).

Pada tahun ini, anggaran subsidi BBM dan LPG mencapai Rp149,4 triliun, dan subsidi listrik mencapai Rp59,6 triliun. Lalu, kompensasi BBM mencapai Rp252,5 triliun dan kompensasi listrik mencapai Rp41,0 triliun. Dengan itu, total anggaran subsidi dan kompensasi mencapai Rp502,4 triliun.

Jumlah ini berpotensi membengkak hingga Rp698 triliun atau naik Rp195,6 triliun, apabila konsumsi terus meningkat. Hal itu karena harga jual eceran (HJE) BBM bersubsidi jauh lebih rendah dibandingkan harga jual seharusnya atau keekonomiannya.

Baca juga : Pertamina Turunkan Harga BBM Nonsubsidi per 1 September

Dalam kesempatan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan HJE solar yang ditetapkan oleh PT Pertamina (Persero) dengan seizin pemerintah sebesar Rp5.150 per liter, sedangkan harga keekonomiannya sudah mencapai Rp13.950 per liter.

Sementara itu, ia mengatakan HJE pertalite yang ditetapkan sebesar Rp7.650, harga keekonomiannya sudah mencapai Rp14.450 per liter. Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi mencapai Rp6.800 untuk setiap liter bahan bakar ini.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement