Senin 12 Sep 2022 05:52 WIB

Memimpikan Dunia Kerja yang Lebih Inklusif

Banyak praktisi beladiri perempuan yang tak serius dalam berlatih, apalagi melatih.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Erik Purnama Putra
Pelatih bela diri jiu-jitsu, Fina Philipe.
Foto: Republika/Zainur Mahsir Ramadhan
Pelatih bela diri jiu-jitsu, Fina Philipe.

REPUBLIKA.CO.ID,

Marich Prakoso (38 tahun) masih ingat, saat pertama kali menyaksikan tarian kontemporer dari guru pertama yang ditemuinya di Kota Solo, Jawa Tengah. Sembunyi-sembunyi dari jauh, kenangnya, menari, membuat pikiran tenang dan tenggelam dalam keluwesan.

 

Tak berselang lama, Marich menyebut langsung diajak mencoba tarian yang membuatnya penasaran dan jatuh cinta. "Itu waktu saya sekitar 12 tahun," kata Marich kepada Republika di Jakarta, belum lama ini.

 

Selepas pulang dari latihan perdana itu, laporan kepada orang tuanya disambut positif dan penuh dukungan. Namun, dukungan tersebut tak ia dapat dari teman-temannya di sekolah. Dia dicibir, dihina, dirundung ramai-ramai.

 

"Pas di sekolah pernah di-bully, laki-laki kok nari? Banci ya? Dari sana saya tahu edukasi masyarakat belum sampai ke penerimaan," katanya.

 

Lain teman, lain orang tua. Marich menyebut dukungan dari orang tua lebih besar daripada cibiran temannya. Bahkan, motivasi untuk menekuni tari, kata Marich, terus datang dari orang tuanya.

 

"Kata orang tua saya ga perlu khawatir. Kamu terlahir jadi lelaki, jadi lelaki seterusnya. Dan itu motivasi saya sampai hari ini," jelas dia menirukan perkataan ibunya.

 

Menurut Sexual Orientation and Gender Expression in Sosial Work Practice, identitas gender adalah suatu pengertian dan kesadaran seseorang mengenai gender seorang individu. Karena itu, saat membahas stereotip gender di luar kerja, Marich memprotesnya lebih jauh.

 

Dia mengatakan, saat ini, berbagai arus media terlalu membuat pengertian seolah penari adalah khusus perempuan. Marich mengkritik, pemahaman itu yang terus berkembang hingga saat ini. "Ga perlu jadi perempuan untuk jadi penari. Kodrat saya jadi cowo yang jadi cowo terus lah," katanya.

 

Menyoal stereotip itu, Marich mengaku, sedikit kecewa dengan media televisi yang menampilkan penari dalam perspektif lelaki kemayu. Padahal, katanya, banyak penari lelaki yang sesuai dan bisa menjadi muka para penari lelaki.

 

"Kalau media tidak mengedukasi, kita hanya akan bermimpi melihat lelaki tulen sebagai penari. Media terus mendukung normalisasi itu dan malah membatasi pada gender," keluhnya.

 

Serupa dengan Marich, presenter, pemengaruh, dan pelatih bela diri jiu-jitsu Fina Philipe, juga merasakan stigma yang sama dari masyarakat awam. Perjalanannya di dunia bela diri, kata dia, banyak mendapat cibiran karena melatih para lelaki dan bergulat di lantai.

 

"Banyak yang komen aneh-aneh di media sosial atau sekitar. Tapi ya kita lakuin aja, kita tunjukkan aja kalau perempuan juga bisa melatih bela diri dengan baik," kata Fina saat ditemui di sebuah gym kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

 

Dia mengaku, alasan melatih lelaki dan perempuan datang karena minat pada bela diri yang kian besar. Fina mengeluhkan banyaknya praktisi beladiri perempuan yang tidak serius dalam berlatih, apalagi melatih.

 

"Jangankan pelatih, proporsi murid perempuan aja sekarang cuman 20 persen," kata dia yang merupakan satu-satunya pelatih jiu-jitsu perempuan di Jakarta.

 

Tumbuh dan besar di lingkungan keluarga asal Kota Padang, Sumatra Barat, yang menjaga anak perempuan, kata Fina, keluarga pun awalnya selalu melarang kegiatan luar ruangan atau yang berbau fisik. Meski demikian, dia selalu melakukannya diam-diam saat awal menekuni kegiatan yang diinginkan.

 

"Ikut bela diri juga sembunyi-sembunyi, tapi akhirnya keluarga menerima saat saya menang turnamen internasional," jelas atlet yang hendak mengikuti turnamen di Las Vegas, Amerika Serikat akhir bulan nanti tersebut.

 

Ditanya stereotip perempuan di ruang kerja, kata dia, memang masih banyak keterbatasannya. Karena itu, dia berharap, para puan di luar bisa lebih menghargai minat dan kehendaknya dalam bekerja.

 

"Intinya, kesetaraan menurut pribadi, kalo lu (lelaki) boleh (kerja) ngapain, ya gue juga boleh ngapain. Bukan berarti harus sejajar, cuman harus bagi perempuan di dunia mayoritas lelaki, tidak mendapat halangan," jelas dia.

 

Stereotip gender dalam dunia kerja, tidak hanya terbatas di lingkungan, melainkan hak dan kewajiban yang tidak sebanding. Seperti dirasakan oleh salah satu pekerja swasta di Jakarta, Wina (26). Dia mengaku sempat mendapat perlakuan dan hak yang berbeda dari karyawan lainnya di sebuah perusahaan ekspor impor.

Sebagai lulusan baru pada 2018 dan langsung bekerja, dia merasa kesenjangan bayaran itu bukan hanya karena status anak baru, melainkan faktor kedekatan dan gender. "Tiga bulan pertama di sana dikasih Rp 3,6 juta, di bawah UMP (upah minimum provinsi), padahal aku S1. Dan yang bukan S1, justru gajinya lebih gede," kata Wina mengeluh.

 

Meski akhirnya dia memilih hengkang dari perusahaan itu. Ingatan mengenai perbedaan tersebut diklaimnya tidak akan hilang. "Terus aku resign deh. Karena ga adil aja," tutur dia. Di perusahaan setelahnya, dia baru mendapat iklim yang berbeda dari sebelumnya.

 

Wina hanya satu dari sekian banyak pekerja yang tidak mendapat iklim saling mendukung dalam dunia kerja. Apa yang dialami Wina, nyatanya juga dialami perempuan lain di dunia kerja di berbagai belahan dunia.

 

Dalam sebuah riset, yang dilakukan National Women’s Law Center Amerika, dijelaskan jika ketimpangan pekerja lelaki dan perempuan nyata dalam bentuk upah. Khusus di Amerika Serikat, ditemukan jika rata-rata wanita di sana hanya mendapat 79 sen di setiap dolar yang dihasilkan pekerja laki-laki.

 

Rinciannya, perempuan Asia-Amerika biasa mendapat 87 sen, perempuan asli Amerika 57 sen, dan latin 54 sen demi satu dolar rerata pekerja lelaki

 

Mengatasi itu, Chief of Corporate Affairs Goto, Nila Marita mengatakan, perusahaannya menjadi salah satu tempat kerja yang menerapkan budaya inklusif sejak awal perekrutan tenaga kerja. "Goto telah mengintegrasikan prinsip diversity, equality, and inclusion (DEI) sejak proses perekrutan dan orientasi untuk menanamkan prinsip di semua kegiatan perekrutan dan pengembangan," kata Nila.

 

Dalam mendukung upaya itu, kata dia, juga telah diluncurkan berbagai program pelatihan demi meningkatkan kesadaran tentang berbagai isu terkait DEI di Goto. Hal itu, diklaim Nila telah ditindaklanjuti dengan berbagai upaya oleh perusahaan sejauh ini.

 

"Goto sudah menandatangani Prinsip Pemberdayaan Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN WEP) yang bertujuan untuk mendorong kesetaraan gender di tempat kerja," jelas dia.

 

Dalam penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) terhadap 416 perusahaan nasional dan multinasional di Indonesia pada Juni 2020, upaya pengarusutamaan gender di lingkungan kerja membawa keuntungan besar pada laju bisnis. Dikatakan, sebanyak 66 persen perusahaan mengalami peningkatan kinerja, produktivitas dan inovasi.

 

Bahkan, 46 perusahaan mengalami peningkatan minat terhadap produk dan jumlah konsumen. Jumlah itu, belum termasuk 32 persen perusahaan yang mengalami kenaikan profit lima hingga 10 persen, dan 18 persen perusahaan yang mengalami kenaikan keuntungan dari 15 hingga 20 persen.

 

Oleh karena itu, Goto diklaim Nila, juga sudah membuat kelompok SDM atau employee resource group demi memanfaatkan keberagaman yang ada untuk menyampaikan pendapat mereka terkait topik DEI secara kolektif. Selain itu, melalui Tokopedia Academy, pihaknya juga menciptakan women in tech untuk memperkuat ikatan antara karyawan perempuan dalam bidang teknologi, data, dan produk.

 

"Ini menjadi pilar penting dalam keseluruhan aktivitas bisnis kami. Karena hasilnya bisa meningkatkan seluruh inisiatif dan keberlanjutan kami," tutup Nila.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement