REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena politik Indonesia belakangan ini merupakan bagian dari pendangkalan demokrasi. Hal tersebut menyeruak dalam diskusi “Jangan Main Kayu Dalam Demokrasi: Antisipasi Skandal Demokrasi 2024 dengan Saksi Demokrasi” yang diselenggarakan Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) di Jakarta Pusat, Ahad (18/9/2022) lalu.
Sekjen SKI (Sekretariat Kolaborasi Indonesia), Raharja Waluya Jati, mengatakan meskipun skenario-skenario yang diupayakan kelompok politik yang kuat seolah-oleh berjalan dengan mekanisme demokrasi, namun standar demokrasi yang digunakan lebih mengacu pada prosedur teknis.
Hal tersebut dinilainya jauh dari substansi demokrasi yang sesungguhnya, dimana suara rakyat seharusnya tidak boleh diingkari.
“Pemilu hanyalah satu bagian dari demokrasi. Jangan sampai demokrasi didangkalkan dengan menempatkan pemilu sama dengan demokrasi atau sebaliknya,” ujar Jati, begitu akrab disapa, dalam keterangannya, Selasa (20/9/2022).
Jati menambahkan, dalam cara pandang SKI, demokrasi adalah tentang gerak hidup rakyat. Ukuran utama dan terutama dari demokrasi adalah perikehidupan rakyat. Dengan demikian, kata dia, kualitas demokrasi akan menentukan kualitas prikehidupan rakyat.
“Rakyat adapun pihak yang paling berkepentingan dengan jalannya demokrasi. Jika kita mau jujur, demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi prosedural. Demokrasi Indonesia merupakan anak kandung dari kemerdekaan sehingga berwatak emansipasi,” ujar dia menambahkan.
SKI melihat bahwa Pemilu sebagai salah satu dari praktek demokrasi Indonesia, harus berjalan sesuai watak emansipasi dan watak sosialnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Pemilu harus melahirkan dua hal.
Pertama, gagasan terbaik yang menjadi jawaban atas masalah bangsa, kini dan yang akan datang. Kedua, pribadi-pribadi pilih tanding, baik secara moral, sosial dan kapasitas. Pribadi yang demikian tentunya mengerti sejarah bangsa, penderitaan rakyat dan bagaimana cara membawa bangsa kepada masa depannya yang lebih baik.
“Rakyat harus mendapat ruang kesempatan dalam ikut mengontrol jalannya demokrasi khususnya Pemilu, sejak sebelum, pada saat dan setelahnya. Rakyat punya hak untuk mendapatkan Pemilu yang baik, bebas, dan jurdil,” jelasnya.
Menghadapi Pemilu 2024, SKI mengambil insiatif untuk memperkuat hak rakyat dengan mengontrol jalannya demokrasi. Ada dua langkah yang akan dilakukan organisasi tersebut.
Pertama, melakukan rekruitmen bagi anggota masyarakat untuk menjadi saksi demokrasi. Saksi demokrasi bukanlah saksi pemilu dalam arti sempit, tetapi individu rakyat yang terlibat dalam menentukan arah perjalanan bangsa dengan mengupayakan terselenggaranya Pemilu yang mewakili aspirasi rakyat dan diselenggarakan secara baik, bebas, dan jurdil.
“Saksi demokrasi akan ikut aktif menyuarakan kepentingan rakyat agar dapat diakomodasi oleh masyarakat politik, termasuk menentukan siapa pemimpin bangsa yang dikehendakinya memimpin Indonesia ke depan,” lanjutnya
Kedua, menyelenggarakan pendidikan bernegara secara luas dan sistematis. Dalam pendidikan bernegara, rakyat diajak terlibat aktif untuk merumuskan masalah mereka dan menegosiasikannya dengan partai politik dan kandidat pejabat politik, karena politik sesungguhnya bukan saja soal figur tetapi juga soal gagasan untuk memecahkan persoalan bangsa.
“Pada taraf awal, SKI akan menyelenggarakan Musyawarah Desa di 57 Titik di Pulau Jawa, 5 September mendatang. Musyawarah desa tersebut sekaligus menjadi awal dimulainya program Saksi Demokrasi dan Pendidikan Bernegara,” kata dia.
Situasi politik yang berkembang akhir-akhir ini mengindikasikan betapa tidak mudahnya menghadirkan aspirasi rakyat yang menginginkan tampilnya figur pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas dalam kontestasi Pilpres 2024.
Apalagi, muncul pula indikasi untuk menyederhanakan peta Pilpres 2024 dengan dua pasang calon saja, yang mungkin saja berasal dari sebuah koalisi besar yang berbagi peran. Sinyalemen tersebut antara lain diungkapkan oleh mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa waktu lalu.