REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Abu Jandal bin Suhail bin Amr, demikian nama lengkapnya, berjuang di sisi Rasulullah SAW hingga akhir hayat. Ia wafat pada masa amirul mukminin Umar bin Khattab di Syam akibat terkena wabah penyakit.
Dalam sebuah fase kehidupannya, sang pejuang pernah menghadapi dilema. Hal itu bermula pada saat proses pengesahan Perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, Nabi SAW sedang membicarakan poin-poin kesepakatan dengan para pemuka Quraisy. Baik pihak Muslimin maupun musyrikin sudah menghendaki adanya gencatan senjata.
Saat Perjanjian Hudaibiyah sedang ditulis, Abu Jandal tiba-tiba masuk ke dalam tenda tem pat perundingan. Ia dalam keadaan terbelenggu. Lelaki itu segera ditarik oleh ayahnya sendiri, Suhail bin Amr, yang tergolong kafir.
Dengan keras, Suhail menampar putranya. Tidak cukup dengan itu, musyrik tersebut juga menendang dan membanting anak itu hingga kepayahan. Dalam kondisi demikian, Abu Jandal masih lantang berteriak, Wahai kaum Muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada orang- orang musyrik!? Mereka pasti akan melakukan segalanya untuk memaksaku murtad!
Suhail langsung menyela, sembari telunjuk nya diarahkan kepada Nabi SAW, Wahai Muhammad! Perjanjian antara kami dan kalian sudah ditulis sebelum Ibnu Suhail masuk ke tenda ini!
Butir perjanjian yang dimaksud berbunyi: Jika seorang lelaki dari Makkah datang kepada Muhammad, walaupun ia telah memeluk Islam, maka Muhammad harus mengembalikannya kepada kami (kaum Quraisy).
Rasulullah SAW diam. Tentu saja, amat berat bagi Nabi SAW untuk membiarkan sahabatnya kembali ke tengah kaum musyrikin. Bagai manapun, beliau tidak mau melanggar perjanjian yang baru saja disepakati.
Kemudian, Rasul SAW berpesan kepada Abu Jandal, Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah pertolongan dari sisi Allah. Sungguh, Allah akan memberikan jalan keluar bagimu dan orang-orang Muslim yang lemah sepertimu. Mereka (kaum musyrik) telah bersepakat dalam perjanjian ini sehingga kita tidak mungkin berkhianat.
Abu Jandal adalah satu dari puluhan orang Islam yang dicegah kelompok musyrikin Makkah. Para sahabat Nabi SAW itu dihalang-halangi dari hijrah ke Madinah. Mendengar sabda beliau, Abu Jandal diam. Dalam hatinya, tidak ada yang paling diharapkan selain ridha dan pertolongan Allah.
Hari berganti hari seusai penandatanganan Hudaibiyah. Abu Jandal merasa, tibalah saatnya memulai ikhtiar. Ia mengumpulkan 70 Muslimin yang senasib dengannya di Makkah.Disusunlah taktik untuk membebaskan diri dari tahanan Quraisy.
Pada suatu malam, rencana itu dijalankan. Mereka berhasil melarikan diri dari Makkah. Namun, tujuannya bukanlah menyusul Nabi SAW di Madinah. Sebab, ada kekhawatiran bahwa Rasulullah SAW--yang masih terikat Perjanjian Hudaibiyah--akan mengembalikan mereka kepada kafir Quraisy Makkah.
Karena itu, Abu Jandal dan kawan- kawan bergabung dengan kelompok Abu al-Bashir, seorang Muslim yang terlebih dahulu kabur dari kejaran orang-orang musyrik. Setelah itu, para sahabat Nabi SAW tersebut bersekutu dengan kabilah-kabilah yang telah ber-Islam, semisal Bani Ghifar, Aslam, dan Juhainah.
Aliansi ini beranggotakan sekira 300 orang. Dengan jumlah yang cukup besar, Abu Jandal percaya diri bahwa mereka dapat memukul balik egoisme kaum musyrikin. Caranya dengan mencegat semua kafilah Quraisy yang melewati rute Makkah-Syam. Setiap orang kafir yang melintasi jalan tersebut pasti dibunuhnya. Seluruh barang bawaan pun dirampas.
Perbuatan Abu Jandal dan kawan- kawan sangat merepotkan orang- orang Mekah. Kaum Quraisy tidak lagi leluasa melakukan perjalanan niaga ke Syam. Pada akhirnya, para tetua Makkah berkirim surat ke Madinah.
Dalam korespondensinya, pihak Quraisy meminta kepada Rasulullah SAW agar mengajak kelompok Abu Jandal dan Abu al-Bashir untuk bergabung ke Madinah. Harapannya, orang-orang Islam itu tidak lagi merintangi setiap kafilah dagang Makkah yang hendak menuju Syam.
Dengan perkataan lain, pihak Quraisy sendiri yang menghendaki pembatalan salah satu poin penting Perjanjian Hudaibiyah. Nabi SAW lantas mengirimkan utusan kepada Abu Jandal dan Abu al-Bashir. Keduanya dan seluruh kabilah Muslimin setempat dipersilakan menemui beliau di Madinah.
Sungguh kabar yang menggembirakan hati mereka. Dengan penuh semangat, kedua sahabat Nabi SAW itu mempersiapkan kudanya. Namun, Allah menakdirkan bahwa Abu al- Bashir terlebih dahulu mengalami sakit. Lelaki itu kemudian wafat dalam keadaan menggenggam surat Rasulullah SAW.
Usai mengurus jenazah sang mujahid, Abu Jandal mengumpulkan seluruh Muslimin dari kabilah-kabilah setempat. Mereka semua berangkat ke Madinah guna berkumpul lagi dengan saudara-saudara seiman. Membersamai Rasulullah SAW di setiap langkah perjuangan.
Demikianlah hikmah di balik kesukaran yang dilalui sang sahabat.Abu Jandal merasakan manis buah kesabaran yang ditunjukkannya, serta perlawanan yang dilakukannya terhadap para musuh Allah.