Sejak Konferensi Asia Afrika 1955 hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok kian erat. Pada perayaan kemerdekaan 1958 hadir Madame Soon Ching Ling. Istri Dr Sun Yat Sen. Walau dipanggil madam beliau tetap memakai Cheong Sam. Saya sempat melihatnya dari dekat karena saya terpilih menyanyi di Istana bersama rekan para pelajar SMP yang lain.
Setelah Bung Karno berkuasa mutlak berkat Dekrit 5 Juli 1959 hubungan dengan Tiongkok makin erat. Akrobat dari Tiongkok pun sering main di Jakarta.
Foto Mao Tse Tung sering tampil di media. Gunting rambut model Mao banyak yang contoh termasuk DN Aidit.
Mao mengajarkan kader-kadernyan pandang ke selatan, kalau ke utara gunung melulu.
Hubungan PKI dan PKC makin erat. PKUS ditinggalkan. Organisasi Bapperki, badan permusyawaratan perwakilan kewarganegarsan Indonesia, makin berkembang. Bapperki pimpinan Siauw Giok Tjan. Mereka juga punya onderbouw namanya Perhimi, perhimpunan mahasiswa Indonesia. Perhimi mitra CGMI untuk gasak HMI. Mereka yang tendang HMI dari wadah bersana PPMI, perhimpunan perkumpulan mahasiswa Indonesia. Walau HMI ikut dirikan PPMI, tetap ditendang karena HMI dituduh kontrev, kontra revolusi.
Ucapan Menlu RRC Chou En Lai lebih sering dikutip media kiri dari pada yang lain. Menlu Subandrio sering empat mata dengan Chou En Lai di Beijing atau Jakarta. Indonesia dianggap kiri.
Untuk jaga keseimbangan pada awal 1965 Indonesia gelar Konperensi Islam Asia Afrika, RRT kirim utusan. Mereka itu Muslimin asal Uighur. Tapi mereka diam saja di sidang-sidang. Dengan pers juga membisu.
30 September 1965 Gestapu/PKI meledug. Situasi berbalik. Bangkit demo besar ganyang PKI. Yang didemo termasuk gedung-gedung RRT di Jakarta dan daerah. Ternyata gedung-gedung RRT sudah tak berpenghuni.
Akhirnya banyak gedung2 RRT yang diduduki pendemo.
Di antara gedung2 itu juga beberapa dihuni tetap oleh ormas pendemo secara legal. Antara lain kantor HMI Jakarta Jl Cilosari 17.
Penulis Ridwan Saidi: Sejarawan, Budayawan Betawi, dan Mantan Ketua Umum HMI 1970-an.