Oleh : Yudha Manggala Putra, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak ada satu laga sepak bola pun senilai nyawa manusia. Sepak bola seharusnya tontonan menghibur. Menang atau kalah biasa, dan mestinya terjadi hanya dalam pertandingan.
Namun, kali ini Indonesia kalah. Kalah telak dalam upaya melindungi nyawa warga dan sesama saudaranya.
Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/1/2022) kemarin sungguh sangat memilukan. Menurut laporan terbaru siang ini, sebanyak 174 orang meninggal usai aparat berusaha membubarkan penonton masuk ke tengah lapangan.
Belum bisa dipastikan benar pangkal insiden tersebut. Namun, sejumlah kesaksian menyebut awalnya sebagian penonton turun dari tribun dan masuk ke arena usai pertandingan. Ratusan suporter lain mengikuti.
Kejadian itu bikin panitia lokal kelabakan. Tak sanggup mengantisipasi, mereka mengandalkan satuan pengamanan dari kepolisian untuk membubarkan massa tumpah ke lapangan.
Polisi pun melakukan tindakan paksa, menembakkan gas air mata.
Sontak, penonton panik. Gas yang bikin sesak napas membuat suporter berhamburan. Mereka berdesakan menuju pintu keluar. Penumpukan massa pun tidak bisa dielak. Tak sedikit jatuh terinjak-injak.
Rentetan kejadian itu diduga kuat penyebab banyak korban jiwa berjatuhan. Belasan di antaranya anak-anak dan perempuan.
Miris. Tragedi ini terburuk dalam sejarah sepak bola Indonesia. Kehilangan satu nyawa saja mematahkan perasaaan kemanusiaan. Seratusan nyawa jelas sangat melukai hati.
Entah, siapa harus disalahkan. Banyak kelalaian penyelenggaraan dan penanganan diduga terjadi pada peristiwa ini.
Panitia pelaksana kabarnya mencetak tiket pertandingan sampai 45 ribu lembar. Padahal, jumlah itu tidak sesuai rekomendasi polisi sebanyak 25 ribu tiket.
Penanganan polisi menembakkan gas air mata juga diduga melanggar peraturan FIFA. Badan sepak bola dunia, yang menaungi PSSI itu, menyebut dalam regulasinya: senjata api dan gas air mata tidak boleh dipakai polisi saat mengamankan pertandingan di stadion.
Pemerintah mungkin akan mengatakan ini: evaluasi dan pembenahan harus segera dilakukan. Namun, banyak yang curiga, itu bisa manis di lidah saja.
Beberapa kali insiden serupa terjadi. Skalanya mungkin tidak separah ini. Namun, banyak pelajaran mestinya sudah dipetik. Sayang, niat serius menangkal masalah terulang masih jauh panggang daripada api.
Terlepas dari segala permasalahan, mari sejenak kita berdoa sepenuh hati untuk korban dan keluarga terdampak tragedi Kanjuruhan. Semoga pemerintah dan pihak bertanggung jawab, bisa lebih baik lagi dalam melindungi hak hidup warga di negeri ini.
#PrayForKanjuruhan