REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Setelah deklarasi pencapresan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem, para pendengung (buzzer) pendukung ’status quo’ ramai menyematkan sebutan ’Nasdrun’ kepada parpol yang dipimpin Surya Paloh.
Penyematan label ’Nasdrun’ dinilai sebagai manifestasi sikap rasis, glorifikasi politik identitas dan ekspresi kebencian bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan Antar-golongan).
Sekjen SKI (Sekretariat Kolaborasi Indonesia), Raharja Waluya Jati, mengimbau kelompok masyarakat sipil untuk melakukan berbagai upaya untuk melawan kejahatan moral tersebut.
”Rasisme dan kebencian yang diumbar-umbar itu bertujuan untuk terus menciptakan segregasi politik guna menjaga kepentingan elektoral pihak tertentu pada Pemilu 2024. Tindakan tersebut membahayakan persatuan bangsa dan menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia yang bermartabat,” ujar Jati, begitu akrab disapa, Senin (10/10/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap partai atau figur politik, kata Jati, merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Tetapi, ketidaksetujuan tersebut semestinya diungkapkan dengan cara yang sehat seperti berargumen dan membantah atau mengkritik gagasan dan kebijakan yang tidak disepakati. Bukan dengan membuat cap atau label bernuansa rasis kepada pihak yang tidak disetujuinya.
”Pelabelan ’Nasdrun’ itu menunjukkan kekerdilan sikap dan ketidakmampuan bertarung di arena gagasan dan karya. Kami bersimpati dan memberikan dukungan kepada Nasdem yang telah membuka pintu perubahan dengan segala risiko politiknya,” lanjutnya.
Menurut Jati, meskipun selama ini upaya hukum belum terasa optimal dalam ’menertibkan’ ulah buzzer, bukan berarti publik harus pesimis dan berdiam diri sehingga membiarkan kejahatan moral itu terus terjadi.
Literasi politik kepada publik luas dengan mengembangkan politik berwatak Indonesia, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangkal ’keganasan’ buzzer status quo.
SKI sendiri mengembangkan kegiatan literasi politik melalui Program Pendidikan Bernegara. Program ini selain bertujuan untuk menyemai sikap kritis warga terhadap narasi-narasi politik yang mengemuka di ruang publik, juga untuk mengingatkan pentingnya mengembalikan demokrasi Indonesia kepada watak emansipasinya.
”Dalam pendidikan bernegara, warga memperoleh pemahaman mengenai lanskap politik dan tujuan bernegara secara tuntas. Mereka juga memperoleh pemahaman, mengapa narasi yang dikembangkan buzzer tidak sesuai dengan tujuan bernegara dan kepentingan menjaga kualitas demokrasi Indonesia, serta bagaimana strategi terbaik warga negara untuk menghadapinya,” kata Jati.