REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang penagih utang atau debt collector menggunakan kekerasan atau tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan masalah hukum dan sosial dalam proses penagihan utang kepada konsumen. Jika hal tersebut dilakukan, maka debt collector dapat dikenakan sanksi hukum pidana.
Mengutip Instagram resmi Otoritas Jasa Keuangan @ojkindonesia, OJK melarang debt collector menggunakan cara ancaman, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan, dan memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal.
“Bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) yang menjalin kerja sama dengan debt collector tersebut, juga dapat dikenakan sanksi oleh OJK. Sanksi yang dapat dikenakan berupa sanksi administratif antara lain peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha,” tulis OJK seperti dikutip pada Selasa (11/10/2022).
Dalam Pasal 7 POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat Sektor Jasa Keuangan, PUJK wajib mencegah pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK dari perilaku yang berakibat merugikan konsumen, termasuk penggunaan kekerasan dalam penagihan utang konsumen.
Adapun dalam proses penagihan, pihak ketiga bidang penagihan yang lebih dikenal dengan istilah debt collector diwajibkan membawa sejumlah dokumen, mulai dari kartu identitas dan sertifikat profesi bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi bidang pembiayaan yang terdaftar OJK.
Selain itu, debt collector juga diwajibkan membawa surat tugas dari perusahaan pembiayaan, bukti dokumen debitur wanprestasi, dan salinan sertifikat jaminan Fidusia. “Seluruh dokumen tersebut digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses penagihan pinjaman sehingga mencegah terjadinya dispute,” tulis OJK.
Hal ini sebagaimana tercantum pada POJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, yakni perusahaan pembiayaan diperbolehkan dapat bekerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka penagihan.