REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pemerintah Lebanon telah menyetujui kesepakatan perbatasan maritim dengan Israel yang dimediasi Amerika Serikat (AS). Menurut dia, kesepakatan itu merupakan pencapaian bersejarah.
“Saya mengumumkan persetujuan oleh Lebanon atas versi final yang disiapkan oleh mediator Amerika untuk menggambarkan perbatasan laut selatan,” kata Presiden Lebanon Michel Aoun dalam pidato yang disiarkan televisi, Kamis (13/10/2022) waktu setempat.
Dia menyebut kesepakatan itu bersejarah karena Lebanon mampu memulihkan wilayah yang dipersengketakan seluas 860 kilometer persegi. “Lebanon tidak memberikan satu kilometer persegi pun ke Israel,” ucapnya.
Aoun mengungkapkan, Lebanon mengambil kendali penuh atas ladang gas Qana, meskipun sebagiannya berada di wilayah perairan Israel. "Perjanjian tidak langsung ini menanggapi klaim Lebanon dan sepenuhnya mempertahankan hak-hak kami," ujarnya.
Meski telah menyetujui kesepakatan perbatasan maritim tersebut, Aoun menegaskan bahwa Lebanon tak melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Sementara itu, pada Rabu (12/10/2022) lalu, Perdana Menteri Israel Yair Lapid mengatakan, kesepakatan penyelesaian sengketa maritim yang sudah dicapai negaranya dengan Lebanon mencegah potensi terjadinya konflik antara Israel dan kelompok Hizbullah.
“Perjanjian ini mencegah kemungkinan bentrokan militer dengan Hizbullah. Jika kita pergi berperang, kami akan memberi mereka pukulan berat. Dikatakan demikian, jika mungkin untuk mencegah perang, itu adalah tugas pemerintah yang bertanggung jawab untuk melakukannya,” kata Lapid, dilaporkan laman Al Arabiya.
Kabinet Israel pada Rabu mendukung kesepakatan penyelesaian sengketa maritim dengan Lebanon yang dimediasi Amerika Serikat (AS). Anggota parlemen dan komite parlemen Israel kini memiliki waktu 14 hari untuk meninjau rincian kesepakatan tersebut sebelum diserahkan kembali ke kabinet untuk pemungutan suara terakhir.
Perjanjian penyelesaian sengketa maritim akan berlaku setelah Lebanon dan Israel mengirim surat ke Washington. Nantinya pemerintahan AS yang akan mengumumkan bahwa kesepakatan tersebut telah berlaku. Saat momen itu datang, Tel Aviv dan Beirut secara bersamaan akan mengirimkan koordinat identik ke PBB yang menetapkan lokasi perbatasan. Pihak-pihak dalam kesepakatan nantinya akan berusaha menyelesaikan perbedaan maritim lebih lanjut melalui AS. Hal itu mengamankan peran penjamin yang berkelanjutan untuk Washington.
Israel dan Lebanon terakhir kali terlibat dalam konflik terbuka pada 2006. Kedua negara secara resmi tetap berperang, dengan penjaga perdamaian PBB berpatroli di perbatasan darat. Pada 2020, Israel dan Lebanon melanjutkan negosiasi terkait sengketa perbatasan maritim. Pembicaraan sempat terhenti, tapi dihidupkan kembali pada Juni tahun itu.
Diskusi awal berfokus pada area yang disengketakan seluas 860 kilometer persegi (332 mil persegi), sesuai dengan klaim Lebanon yang terdaftar di PBB pada tahun 2011. Beirut kemudian meminta daerah itu diperluas lagi seluas 1.430 kilometer persegi, yang mencakup bagian dari ladang gas Karish. Menurut Israel, Karish berada dalam zona ekonomi eksklusifnya yang diakui oleh PBB. Kelompok Hizbullah sempat mengancam akan menyerang Israel jika negara tersebut melakukan eksplorasi gas di Karish.