Rabu 19 Oct 2022 15:38 WIB

Memupuk Jiwa Toleran dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Ruang terkecil untuk membangun toleransi dan kebhinekaan bisa dimulai dari keluarga

Mural bertema keberagaman agama dan suku di Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (7/4/2022). Mural tersebut sebagai gambaran Kota Salatiga yang penuh keragaman suku dan agama yang hidup saling menjaga dan menghormati sehingga menjadi salah satu kota toleran di Indonesia.
Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Mural bertema keberagaman agama dan suku di Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (7/4/2022). Mural tersebut sebagai gambaran Kota Salatiga yang penuh keragaman suku dan agama yang hidup saling menjaga dan menghormati sehingga menjadi salah satu kota toleran di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pagi itu para pemuda lintas agama, suku dan budaya beramai-ramai mengunjungi Taman Baca Kebun Makna di Dusun Karang Sanggrahan, Magelang, Jawa Tengah. Riuh jaran kepang, lincah barongsai dan gelegar lantunan hadrah mengawal hari itu. Suasana guyub tergambar saat mereka bertepuk tangan dalam acara Festival Toleransi dalam memperingati Hari Perdamaian Internasional 21 September 2022 kemarin.

 

KH Muhammad Yusuf Cudlori, pengasuh pondok pesantren API Tegalrejo Magelang yang hadir pada saat itu mengatakan dalam Islam toleransi bisa disebut tasammuh (saling menghormati). Tasammuh-lah yang dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. “Kita itu itu cukup menghargai, tidak harus meyakini,” ujar Gus Yusuf, dalam siaran pers, Rabu (19/10/2022).

Tokoh agama Buddha Banthe Ditthisampanno, PhD mengamini hal tersebut. Ia memberikan pesan penting bahwa kita harus hidup dalam satu kedamaian. Menurutnya kita hidup di Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Jadi walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.

 

Tidak jauh dari Dusun Karang Sanggrahan, Kabupaten Magelang ada pula sebelas desa yang memiliki visi yang sama yakni menggalakkan toleransi dan menjaga kerukunan. Desa-desa ini masih berada di provinsi yang sama, Jawa Tengah yaitu Kota Magelang. Sebelas desa ini menjadi melting pot keberagaman dengan menerapkan sikap saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari dalam aktivitas warga desanya yang disebut Kampung Religi.

 

Kampung Religi ini pula yang mengantarkan Kota Magelang menjadi sepuluh besar kota paling toleran di Indonesia versi Setara Institute, lembaga yang fokus pada kebebasan beragama dan toleransi.

 

Wali Kota Magelang, Muhammad Nur Aziz, menyebut penghargaan itu tidak lepas dari komitmen Pemkot dalam mewujudkan masyarakat toleran. Menurutnya, dengan meningkatkan pengetahuan agama membuat orang tidak akan berbuat radikal dan intoleran.

 

“Ini penghargaan bagi warga Kota Magelang karena sikap toleransi yang tinggi. Beragam agama, ras dan budaya bukan menjadi penghalang untuk kita selalu bersikap toleran terhadap sesama,” ujarnya saat menerima penghargaan awal tahun lalu.

 

Dua gambaran kondisi masyarakat di atas adalah cerminan kecil dari keberagaman yang ada di Indonesia. Di antara enam agama, ribuan suku, dan berbagai keyakinan membuat bangsa ini adalah bangsa yang sangat multikultur. Lantas, bagaimana kita menanamkan sikap toleran dalam diri kita?

 

Kalau dahulu para pendiri bangsa berdialektika dan menurunkan ego demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Piagam Jakarta, saatnya generasi muda juga bisa berpartisipasi dalam hal yang berbeda. Tidak harus mengadakan festival toleransi setiap hari atau membangun Kampung Religi, toleransi bisa dimaknai dari diri sendiri dan keluarga.

 

Menurut Kalis Mardiasih, anak muda sekaligus influencer yang aktif mengampanyekan sikap toleran di media sosialnya, tantangan saat ini datang dari media sosial dan transformasi digital yang semakin masif membuka ruang terhadap narasi-narasi intoleran. Pendalaman intoleransi, radikalisme dan diskriminasi di era digital muncul dari pola konsumsi informasi yang berlebihan. Hal ini disampaikannya saat Pra-Konferensi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bertajuk “Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama”, Juli 2022 silam.

 

“Ruang terkecil untuk membangun toleransi, kebinekaan dan kebebasan beragama dapat dimulai dari keluarga. Kunci utamanya ada di dialog, empati pada orang lain, tradisi saling mendengarkan, dan mau memahami orang dari latar, kelas, suku, agama yang berbeda. Kalau kita bisa menumbuhkan ini, dampaknya bagi dunia nyata dan dunia digital akan sangat besar,” tambah Andre Notohamijoyo, Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kemenko PMK pada acara tersebut.

Jiwa toleran bukanlah slogan semata. Ia harus dipupuk sejak dini, dari diri sendiri dan menular ke orang lain untuk membentuk harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement