Sabtu 22 Oct 2022 03:05 WIB

Apoteker Diimbau Pantau Penggunaan Obat Sirup di Masyarakat

Apoteker perlu melakukan pengawasan bersama dokter terkait keamanan penggunaan obat

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Christiyaningsih
Apoteker memasang pengumuman penghentian penjualan obat sirop, di Apotek Samudra Farma, Purwokerto, Banyumas, Jateng, Jumat (21/10/2022). Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Banyumas menghentikan penjualan semua produk obat sirop setelah mendapat instruksi dari Kemenkes dan mengembalikan lima produk yang sudah terindikasi berbahaya sesuai temuan BPOM kepada distributor.
Foto: ANTARA/Idhad Zakaria
Apoteker memasang pengumuman penghentian penjualan obat sirop, di Apotek Samudra Farma, Purwokerto, Banyumas, Jateng, Jumat (21/10/2022). Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Banyumas menghentikan penjualan semua produk obat sirop setelah mendapat instruksi dari Kemenkes dan mengembalikan lima produk yang sudah terindikasi berbahaya sesuai temuan BPOM kepada distributor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menanggapi terkait perilisan beberapa obat sirup yang dilarang dijual. IAI memberi imbauan kepada seluruh apoteker di Indonesia agar mengawasi penggunaan obat di masyarakat, jika memang obat sirup benar-benar sangat diperlukan.

Wakil Ketua Pengurus Pusat IAI, Prof. Keri Lestari, menyebutkan pihaknya telah menerima surat dari Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI Nomor: SR.01.05/III/3461/2022 Perihal Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal.

Baca Juga

“Namun dalam kondisi tertentu, berdasarkan pertimbangan antara risiko dan kemanfaatannya dan diputuskan oleh dokter untuk tetap menggunakan obat dalam bentuk sediaan sirup, maka apoteker perlu melakukan pengawasan bersama dokter, terkait keamanan penggunaan obat,” kata dia dalam keterangan pers.

IAI juga mengimbau kepada apoteker yang bekerja di industri farmasi untuk terus berupaya meningkatkan kepatuhan pada standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) terutama dalam menjaga kualitas obat-obatan yang diproduksi. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Obat yang mendapatkan izin edar dari Badan POM sudah melalui proses pengujian dan memenuhi standar keamanan, kualitas, dan kemanfaatannya, serta diproduksi sesuai dengan CPOB.

Sementara dalam Pasal 105, dijelaskan bahwa sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. Senyawa etilen glikol dan dietilen glikol tidak digunakan dalam formulasi obat.

Namun kedua senyawa itu dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirup, dengan nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilen glikol (Farmakope Indonesia, US Pharmacopeia). Batas nilai toleransi tersebut tidak menimbulkan efek yang merugikan.

“Apoteker berkolaborasi bersama dokter dan tenaga kesehatan lainnya, untuk melakukan monitoring penggunaan obat oleh pasien atau masyarakat,” papar Prof. Keri.

Seluruh apoteker yang bekerja di sarana pelayanan kefarmasian dan di sarana pelayanan kesehatan akan berkolaborasi bersama dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait penggunaan obat yang rasional dan aman, rekomendasi penggunaan obat dalam bentuk sediaan lain, dan rekomendasi terapi non farmakologi.

Artinya jika memang khawatir dengan kondisi anak dan harus mengonsumsi obat-obatan, apoteker akan memberikan rekomendasi penggunaan obat yang bisa membantu. Namun tentunya ini akan dilakukan dengan koordinasi dari dokter.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement