Oleh : KH Drs Anas Salamun, santri KH Bisri Syansuri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Catatan ini saya sampaikan berdasarkan tutur cerita Bapak Salamun (bapak saya) di saat masa Revolusi menanggapi seruan dan perjuangan KH Bisri Syansuri utk mempertahankan kemerdekaan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Salamun terlahir di desa Turipinggir pada Rabiul Awal (Maulud) 1915. Saat usianya menginjak 6 tahun atau tepatnya pada 1921, kedua orang tuanya memondokkannya guna menuntut ilmu di Pesantren Denanyar, di bawah asuhan KH Bisri Syansuri. Begitu pun sang adik, si Ahmadun menyusulnya nyantri di Pondok Denanyar tiga tahun kemudian.
KH Bisri Syansuri mendidik Salamun kecil sembilan tahun lamanya hingga dia tumbuh menjadi remaja. KH Bisri Syansuri mengajarkannya ilmu tauhid, ilmu tajwid, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh, ilmu balaghah, dan ilmu mantiq.
Pada 1930, atas saran gurunya, KH Bisri Syansuri, Salamun melanjutkan belajar di Pesantren Tambak Beras di bawah asuhan KH Wahab Chasbullah, yang tak lain adalah kakak ipar KH Bisri Syansuri sendiri.
Setelah belajar enam tahun lamanya di Tambak Beras Jombang, tepatnya pada 1936, dia pulang ke Turipinggir untuk mengajarkan ilmu yang telah didapatnya dari dua pondok pesantren tersebut kepada masyarakat sekitar Turipinggir.
Hal ini sebagaimana pesan penting dari kedua gurunya, bahwa seorang santri harus mengabdi dan mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya, meneruskan risalah syariah agama ini, yakni meninggikan ajaran Tuhan "li i'laai kalimatillaahi 'ulya".
Baca juga: Dihadapkan 2 Pilihan Agama Besar, Mualaf Anita Yuanita Lebih Memilih Islam
Pada 1942 saat Jepang masuk Indonesia, Salamun atas nasihat gurunya KH Bisri Syansuri agar kembali belajar menuntut ilmu di Pondok Semelo Perak di bawah asuhan KH Umar Zaid, seorang kiai zuhud yg masyhur dengan ajaran tasawuf dan suluk tarekat.
Di sini, Salamun diperintah gurunya KH Bisri Syansuri berdasar surat yg diterimanya dalam tulisan Jawa Pegon, agar segera bergabung dengan barisan Laskar Hizbullah.