REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bahan kimia “etilen glikol” dalam sirup obat batuk diduga telah menewaskan anak-anak di Gambia, Afrika. Kasus ini merembet ke etilen glikol di botol plastik PET di Indonesia.
Alasannya senyawa etilen glikol yang digunakan sebagai peluruh di dalam sirup obat batuk, juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan botol-botol plastik jenis polyethylene terephthalate (PET) untuk air mineral. Faktanya, senyawa etilen glikol dalam sirup obat batuk dan sebagai bahan dasar pembuatan botol PET, jelas tidak saling terkait karena berbeda peruntukan dan pengaruhnya.
“Pada saat digunakan sebagai kemasan botol atau galon, plastik PET secara saintifik bisa dikategorikan aman,” kata Prof. Mochamad Chalid, pakar teknologi polimer dari Departemen Metalurgi dan Material FTUI.
Baca juga : Jadi Takut Minum Obat
Menurut Chalid, karakteristik utama etilen glikol sudah tidak ada lagi pada saat berganti jadi plastik PET. Katalisnya pun dalam jumlah sangat sedikit dan aman. “Dari sisi teknologi, plastik PET aman digunakan untuk kemasan makanan dan minuman,” katanya.
Terlepas dari persoalan etilen glikol, botol plastik memiliki persoalan lain, yaitu menjadi penyebab sampah. Mengutip data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Sebanyak 5 persennya, atau 3,2 juta ton, merupakan sampah plastik.
Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.
Baca juga : Pemerintah tak Segan Sanksi Pidana Produsen Produksi Obat Asal-asalan
Selain volume timbulan, setelah dikonsumsi, AMDK botol plastik PET berukuran di bawah 1 liter sangat sulit untuk dikumpulkan. Akibatnya, sampah produk AMDK berukuran mini ini tercecer dan mengotori lingkungan.
“Ukuran yang kecil-kecil itu berpotensi besar menjadi polutan,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, dalam sebuah acara bincang-bincang via webinar.